Minggu, 23 September 2012

PENGANTAR FILSAFAT ILMU

BAB I
PENDAHULUAN


A. Hubungan Filsafat dengan Filsafat Ilmu 

Berdasarkan Keputusan Kongres Ilmu Nasional (KPNAS) ke III di Jakarta September 1981, Filsafat Ilmu di berikan ke semua jenjang pendidikan dengan tujuan “ meningkatkan moral merupakan momentum untuk perbaikan pendidikan keilmuan ”. 

Ketika dunia pendidikan / terutama generasi muda lebih banyak dicekoki, ( diberikan / dijejali ) budaya melihat / mendengar( lihat tv ), budaya membaca dan menulis sebagai media membangun dunia ilmu perlu di gerakan dan dimasyarakatkan kembali.

Membangun dunia ilmu berarti mempelajari filsafat ( sebagai induk ilmu pengetahuan ). Untuk tujuan tersebut, diawali dengan mengetahui pengertian filsafat secara singkat. Secara lebih kongrit pemahaman dimulai dengan mengetahui hubungan anatara filsafat dengan filsafat ilmu. 

Filsafat berasal dari kata philo dan sophia, philo artinya orang yang mencintai (hasrat mencintai), dan sophia adalah kebijaksanaan atau hikmah. Dilihat dari tata bahasanya filsafat (filsuf) berarti orang yang mencintai, mendambakan/ menghadapi masalah-masalah yang ada dilakukan dengan kebijaksanaan dan kebenaran ( a lover of wisdom ). Dengan filsafat, orang akan berusaha ” sex out meaning of things ”, untuk itu , akan berpikir sampai keakar-akarnya (radik=akar).

Dengan demikian, hanya para pemikir-pemikir yang mempunyai kemampuan disamping itu lebih jauh dari itu, penuh pengabdian dalam hidupnya. Dari sisi ini seluruh hidupnya diabdikan untuk mencari hakekat kebenaran yang ada.

Demikian juga bagi warga masyarakat, dalam hati nuraninya pasti mendambakan kebenaran kejujuran, sehingga pengenalan pada filsafat pada umumnya dan filsafat ilmu pada khususnya sangat bermanfaat. Wawasannya akan semakin luas, terbuka dan maju. Bagi generasi muda semakin diperlukan, karna generasi muda yang tumbuh diera yang semakin komplek, diperlukan pedoman dalam mencari kebenaran. Karna itu, didalam menghadapi perubahan dunia , generasi muda diajak untuk lebih serius menghadapi masalah-masalah kehidupan yang semakin komplek, sulit dan ” menantang ”. 

Filsafat sebagaimana diketahui menjadi induk dari segala ilmu mencangkup sebagai cabang pengetahuan, apa yang ingin kita ketahui ( metafisika ), apa yang seharusnya kita kerjakan ( etika ), sampai dimana harapan kita ( agama ), apa dan siapa manusia ( antropologi ), apa yang sedang kita pikirkan ( logika ) dan apa yang nyaman, indah didalam kehidupan bersama ( estetika ) serta bagaimana mengenal kenyataan yang ada ( kenleer ). 

Istilah filsafat untuk pertama kali dikemukakan oleh Phytagoras dari Athena dan dikembangkan lebih lanjut oleh pemikir-pemikir Yunani lainnya. Phytagoras (536-470 SM) menyatakan”filsuf adalah orang-orang yang menyukai ilmu kepandaian”. Waktu itu ketika ditanya, apakah ia seorang yang bijaksana dengan  rendah hati, Phytagoras menjawab bahwa ia hanyalah philosophos, yakni orang yang mencintai ilmu pengetahuan. 

Filsafat ilmu disebut juga theory of sciences ( teori ilmu ), meta sciences ( meta ilmu ), science of science ( ilmunya ilmu / ilmu tentang ilmu ), sehingga posisinya semakin penting, lewat filsafat ilmu akan “menguak”, menganalisis bagaimana filsafat ilmu menjelaskan peranggapan setiap ilmu, apakah “ ilmu ” benar-benar ilmu dilihat dari berbagai aspek, antara lain kebenarannya atau universalitasnya.

Definisi filsafat  :

Para filsuf pra Socrates, filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat alam dan realita ada dengan mengandalkan akal budi; 

Plato 

Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni;

Filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada; 
 Aristoteles 

Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari perinsip-perinsip dan penyebab-penyebab dari realita ada;

Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupaya mempelajari ”apa yang ada” (being as being) atau ”apa adanya” ( being as such ); 

Rene Descartes
Filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai tuhan,alam dan manusia; 

William James
Filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berfikir yang jelas dan terang; 

R.F Beerling
Filsafat, memajukan pertanyaan tentang kenyataan seluruhnya atau tentang hakikat asas , prinsip dari kenyataan.

Filsafat adalah suatu usaha untuk mencapai radix, atau akar kenyataan dunia wujud, juga akar pengetahuan tentang diri sendiri;

Pemikiran filsafat Jawa tradisional berpendapat bahwa para filsuf adalah “ orang weruh sak durunge winarah, bijak sangka paraning dumadi, tanggap ing sasmita, mumpuni ing sakabehaning tek kliwering jagat ngarca pada ”; 

Prof. Mr. Moh. Yamin merumuskan, filsafat adalah “ pemusatan pemikiran ”. Sehingga manusia dapat memenuhi kepribadiannya tersebut dipenuhi dengan kesungguhan;
Manusia berfilsafat, beragam motivasi antara lain berfikir :

Kekaguman, keheranan, ketakjuban;
Kuatnya ide, gagasan yang dimiliki atas anjaran-anjaran filsafat;
Ketidak puasan kondisi yang ada;
Adanya masalah yang laten/ relatif;
Hasrat bertanya yang dimiliki;
Keraguan atas kebenaran atas disampaikan pihak lain;
Pengujian atas kebenaran ( catatan khusus 1998 ).

Filsafat ilmu bagian dari filsafat, yang mengupas bagaimana proses berfikir secara benar dapat dilakukan oleh manusia, melalui filsafat ilmu, sejauh mungkin dapat menjelaskan bagaimana mendapatkan atau ” menangkap ” ilmu, melalui proses “ pencarian ” ilmu yang benar, sehingga usaha mencari ilmu pengetahuan merupakn satu keutuhan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dengan/dari proses berfikir yang berlangsung sampai diprolehnya produk atau hasil, tanpa meninggalkan tujuan dan keberadaan atau wujud objek ( ilmu itu sendiri ) yang dihadapi.

Karena filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat, maka “ pengaruh ” landasan, cara dan metode filsafat, bahkan sifat dasar filsafat tidak dapat ditingglkan oleh filsafat ilmu. Filsafat sendiri, antara lain dimaknai sebagai ” suatu cara atau metode pemikiran yang bertanya-tanya tentang sifat dasar dan hakiki berbagai kenyataan yang tampil dimuka kita “ filsafat mencoba menerangkan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut : Apa artinya hidup dan kegiatan, kebebasan dan cinta? Apa yang ingin dikatakan jika orang bicara tentang dunia, alam semesta, manusia, Allah? ( Louis Leahy, 2001:15).

Filsafat ilmu sangat berkaitan dengan logika ilmu. Mengapa manusia memiliki ide? Dan hasil penalaran tersebut untuk apa? Dan seterusnya.

Hal-hal semacam ini akan terus berkembang. Di samping adanya “ rangsangan ” dari luar, alam dan masyarakat yang diterima oleh akal secara terus menerus, tuntutan dan kebutuhan manusia yang terus bertambah, serta pengalaman manusia sendiri, akal yang menerima respon akan segera mengolahnya. Pengolahan tersebut akan disesuaikan dengan kemampuan akal masing-masing manusia yang memilikinya.

Karena itu, kegiatan berpikir akan berlangsung terus sepanjang hayat manusia. Berbagai masalah akan selalu dipikirkan manusia, baik masalah kecil ( remeh ), lebih-lebih masalah besar. Karena itu, berfikir yang benar atau berfikir cerdas sampai hakekat sesuai dengan pendekatan filsafat, perlu diketahui bersama. ” disanalah ” ditemukan hakekat kehidupan dan kebenaran.




Dengan demikian filsafat ilmu ” menampung ” ide-ide besar dari para pemikir, sehingga mampu “memecahkan ” masalah-masalah yang dihadapi warga masyarakat. Karena itu dengan memahami filsafat ilmu, hakekat kebenaran, semakin jelas, hasilnya semakin utuh, demikian juga lewat pengenalan filsafat ilmu masalah yang dihadapi warga masyarakat dapat terbantu untuk dipecahkan. Lewat pendekatan filsafat ilmu, masalah-masalah kehidupan sehari-haripun diharapkan dapat diselesaikan, walau mungkin belum lengkap dan tidak disadari. Filsafat ilmu bukan ” milik ” ilmuan saja, warga masyarakat berhak memetik hikmah/ manfaat filsafat ilmu.

Jadi tidak benar, mempelajari filsafat ilmu, seseorang dibawa menjadi ahli filsafat ( filsuf ), filsafat ilmu diberikan kepada warga masyarakat sebagai  pengetahuan berfikir yang benar menghadapi masalah-masalah yang dihadapi. Untuk mengetahui tugas filsafat ilmu akan menjadi lebih jelas jika kita mengetahui selain makna filsafat juga tugas filsafat pada umumnya.

Menurut Y. Ledure tugas filsafat adalah menciptakan sebuah naskah, mengelola suatu wacana. Namun wacana ini tidak termasuk dalam bilangan-bilangan lain manusia, sebab wacana ini tidak terbatas pada satu aspek tertentu dari sifat manusia.

Tiap ilmu menentukan sendiri suatu kawasan tertentu yang menjadi lingkungan telaahnya  sendiri agar dapat memperoleh suatu pengetahuan yang terbatas/terfokus, namun dapat dibuktikan. Fokus tersebut terkait dengan perkembangan pengetahuan tentang manusia dan dunia. Filsafat memanfaatkan perkembangan tersebut sebagai bahan yang diterima dan direnungkan. Tugas dan fungsi filsafat tidaklah tunduk kepada penggolongan-penggolongan serta pengkhususan-pengkhususan yang merupakan ciri khas suatu ilmu. Tugas filsafat mempelajari manusia dalam kebulatan aslinya, serta menghadapinya sebagai suatu keseluruhan yang bukan merupakan himpunan dari cabang-cabang ilmu yang berbeda-beda. Sang filsuf mencurahkan segenap perhatiannya terhadap manusia dalam existensialitas yang selalu berada diatas pengkotak-kotakan pengetahuan yang beraneka ragam. Dalam prospektif ini filsafat secara dasarlah tetap merupakan kebijaksanaan. ( 2001:19 )

Lebih kongkrit dijelaskan tujuan Filsafat Ilmu ( FI ) :  

FI sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah, menjadikan seseorang kritis terhadap kegiatan ilmiah; 

FI merupakan usaha merefleksikan, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuan. Dengan demikian sikap yang diperlukan adalah menerapkan metode ilmiah sesuai dengan struktur ilmu pengetahuan; 

FI memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan. Oleh karena itu setiap metode ilmiah harus dapat mempertanggungjawabkan secara logis rasional, dapat dipahami, dan dipergunakan secara umum ( Drs.Ignatius Marjhono, SH ); 

Melalui pandangan-pandangan tersebut, filsafatlah yang menjadi  induk segala ilmu, yang kemudian berkembang. Namun melalui filsafat pulalah manusia dengan seluruh dimensi pandangannya dan dinamika kekuatannya mencoba mempersatukan kembali ilmu-ilmu yang telah berkembang sangat jauh dan kompleks.

Melalui pendekatan filsafat berarti menyadari kembali tujuan filsafat yang sangat agung tersebut. Keinginan manusia yang beragam dapat dipertemukan kembali, sehingga melalui pendekatan dan mempelajari filsafat, manusia akan semakin bijaksana.

Dengan demikian menjadi benar jika dikatakan bahwa orang bijak adalah orang yang ketika menghadapi permasalahan selalu mengedepankan akal dan budinya, serta dapat menomor sekiankan ajakan emosi yang cenderung negatif. Juga sangat tepat, ketika Socrates digambarkan, pada siang hari berjalan-jalan kepasar dan setiap kali bertemu orang selalu diterangi dengan lilin yang dibawanya, waktu ditanya ” apa yang kau cari? ” jawab Socrates “ aku mencari orang bijaksana ” Socrates pun pernah berkata ” ibi est verum ” ( kebenaran, dimana kau berada ).

Jika kita mau setiap masalah dibawa dan diuji dengan pendekatan filsafat, berarti kita siap untuk langsung membedah masalah tersebut secara fundamental dan mendasar. Dari sini akan segera diketahui, apa dan siapa yang benar, apa dan siapa yang salah, disinilah sulitnya berfikir secara filsafat.

Menghadapi kenyataan yang demikian tidak semua orang mau dan mampu menerima kenyataan yang sebenarnya. Untuk masuk dan mengenal dunia filsafat, diperlukan perenungan dan analisis yang mendalam. Untuk sampai berfikir mendalam, banyak diantara kita karena berbagai faktor yang ada hanya mau dan mampu berfikir “ kulit-kulitnya saja ”.

Kenyataan tersebut salah satu sebabnya adalah akibat keterbatasan berfikir kita yang masih dalam tataran memori ( mengingt-ingat ). Dari tingkat tersebut seharusnya dikembangkan ketingkat berfikir kritis ( critische denken ) dan kalau mungkin dan mampu berfikir kreatif ( creatieve denken ) tingkat berfikir para pemikir, intelektual terutama para filsuf pada tataran kontemplatik ( contemplatiom, the act of the mind in considering with attention ) (Black’s Law 389).

Beragam masalah yang dihadapi manusia, menjadi salah satu hambatan untuk memperoleh hasil yang benar. Banyak orang sering mengalami kesulitan untuk ” menukik ” masuk ketataran berfikir, sebagaimana tuntutan dan harapan filsafat. Disamping interogasi filsafat, dikenal pula interogasi yang radikal atau dialektik. Dialektik adalah ” theori and practice of weighing and reconciling jucta posedoe contratoctory argument for the purpose of arriving at thruth, especially throught discussion and debate ”....Aristotelianism adalah ” method of arguing with probability on any given problems as an art intermediate between rhetoric and strict demonstration ”. ( Webster, 1993 : 1993 ).

Begitu dalam dan luasnya pemikiran secara filsafat, sehingga memiliki cara atau metode tersendiri didalam cara bekerjanya, ” metode filsafat dikualifikasikan fenomenologis ”. Pertama dengan pengertian bahwa filsafat ingin menjelaskan fenomena-fenomena secara subyektif mungkin bagaimana mereka menampilkan diri terhadap kesadaran. Pemikir berupaya untuk menangkap struktur esensial dan tetap dari setiap fenomena. Metode berfikir filsafat ini disebut “induktif”, abstaktif dan eidetik. Metode ini disebut induktif, karena menyimpul dari suatu fenomena ( atau beberapa fenomena ) dalam struktur yang dasariah. Disebut abstraktif sebab dalam suatu penomena ( atau beberapa fenomena ) membedakan apa yang esensial dan apa yang tidak esensial. Sedangkan eidetik sejauh mana hasil pemahaman tersebut persis seperti kodrat atau bentuk fenomena itu (eidos dalam bahasa yunani). Untuk mendapat kebenaran induksi tersebut dilengkapi dengan deduksi. Karena filsafat mencoba mengerti apa yang fundamental dalam realitas, ada taraf dasariah, segala hal bersatu padu kembali, maka filsafat cendrung untuk membentuk sintetis bahkan sistem ” ( L. Leahy 2001 : 33 ).

Berfikir philosofi arahnya mengajak masyarakat untuk mencintai pengetahuan / kebijaksanaan/ kebenaran ( philos=cinta, sophos = pengetahuan ), sebaliknya ( demi kepentingan sesaat, kepentingan kekuasaan) bukan/tidak membangun ” pseudosophy ” ( pseudes = kepalsuan ) sophos = ( pengetahuan, kebijaksanaan, kebenaran ). Kelompok ini membangun kebenaran/ kebijaksanaan palsu/ semu yang dapat menyesatkan akal sehat warga masyarakat.

Adanya perkembangan kelompok ini rela menciptakan simulasi/rekayasa palsu yang seakan-akan benar, melakukan penjungkiran balikan logika sangat berbahaya, adanya istilah “ aspal ” atau asli tapi palsu, merupakan wujud telah ada “ pseudosophy ” tersebut ditengah-tengah masyarakat kita. 

B. Berfikir, Langkah Awal Mengenal Filsafat Ilmu 

Proses merupakan “ a series of actions/continuous operations ” ( blacks law 1968 : 1368 ) yang dapat menghasilkan satu produk. Berfikir juga merupakan suatu proses, karena itu berfikir merupakan satu seri atau beberapa seri, langkah atau beberapa tindakan yang diharapkan memperoleh hasil yang berguna bagi kehidupan bersama.

Hal itu perlu disinggung, karena ada pula langkah atau proses berfikir yang tidak menghasilkan apa-apa justru menimbulkan kejenuhan. Manusia berfikir karena manusia mempunyai gagasan/ ide/ cita-cita atau karena ada masalah yang perlu dipecahkan.

Kalau sudah berfikir keras dan tidak menghasilkan sesuatu yang tidak diharapkan, beberapa kemungkinan dapat terjadi. Kemungkinan pertama ada langkah berfikir yang salah, kurang tepat, kurang fokus pada tujuan yang ada atau karena materi yang dibahas kurang relevan, sehingga tidak menggambarkan satu kebulatan yang utuh dalam meneliti   ilmu. Sebab lain dapat terjadi karena kurang menguasai proses berfikir itu sendiri.

Dengan demikian berfikir merupakan proses mengembangkan gagasan, ide, konsep yang dipokuskan dan digiring kearah tujuan tertentu yang sudah digagas. Dengan demikian ide dan tantangan yang ada dibungkus dalam satu paket berfikir yang benar serta dibangun melalui suatu tatanan proses tertentu,sehingga ide dan tantangan dari luar tersebut tidak liar atau berjalan tanpa arah. “ Berfikir keilmuan atau berfikir sungguh-sunguh adalah cara  berfikir yang disiplin dan diarahkan pada pengetahuan ”. ( Yuyun S. Suriasumantri, 1978 : 53 ).

Ide serta tantangan yang dapat diolah dengan benar, akan dapat menghasilkan ilmu pengetahuan yang baru. kalau dapat ditemukan ilmu baru dapat diartikan proses atau seri berfikir yang benar telah dilalui. dengan demikian ciri utama ilmu selain bersifat komferhensif, yang disebut logika, dapat dipastikan alur pemikiran yang benar telah dilalui, atau proses yang logis sudah berlangsung. Disamping itu, metode berpikir sudah sesuai dengan tuntutan ilmu pengetahuan yang ada, dan telah bekerja dengan baik pula.

Kesalahan atau kelemahan langkah berpikir yang sering dialami manusia, sebagian besar terletak pada prosesnya, baik karena kurang hati-hati atau kurang pengalaman. Oleh sebab itu , proses berfikir kita sering tersandung atau terbenturpada kesalahan-kesalahan tahap tersebut, sejauh mungkin harus dapat dihindari.

Jika sampai terjadi kesalahan dalam proses ini, hasil olah pikirnya menjadi tidak maksimal ataupun kurang tepat. Karena itulah, memahami proses berfikir yang benar menjadi penting untuk diketahui bersama.

Filsafat ilmulah yang akan menuntun dan mengantar kita agar proses berfikir kita benar Mengambil kesimpulan pun menjadi benar, baik melalui jalur penelitian maupun pemikiran. Dari proses tersebut kita mampu mengkatagorikan jenis ilmu yang kita pelajari. Karenanya, filsafat ilmu adalah pengetahuan yang membahas sampai membangun wujud keilmuan itu sendiri, sehingga ilmu yang diawali proses berfikir yang benar hendaknya dihayati dengan baik.

Filsafat ilmu, kata Beerling et.al “ ialah penyeledikan tentang ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Dengan kata lain, filsafat ilmu sesungguhnya merupakan suatu penyelidikan lanjutan. Karenanya, apabila para penyelenggara berbagi ilmu melakukan penyelidikan terhadap obyek-obyek serta masalah-masalah yang berjenis khusus dari masing-masing ilmu itu sendiri, maka orangpun dapat melakukan penyeledikan lanjutan terhadap kegiatan-kegiatan tersebut ” ( Beerling, 1486 : 5 ).

Berfikir merupakan “ trade mark ” ( ciri ) manusia, dengan berfikir manusia dapat maju dan berkembang. Sekaligus membangun dan mengembangkan masyarakat, budaya dan peradabannya. Karena itu, berfikir tak akan pernah berhenti. Berfikir yang menghasilkan ilmu pengetahuan, hasilnya sangat didambakan orang. Didalam ilmu pengetahuan hakekatnya berisi kebenaran dan kejujuran. Karenanya hasilnyapun selalu ditunggu-tunggu masyarakat. Sebaliknya kalau hasil ilmu pengetahuan, kemudian dikembangkan dan merugikan masyarakat, bertentangan dengan tujuan ilmu pengetahuan dan misi seorang ilmuwan sendiri.

Dengan demikian ilmu pengetahuan terbukti merupakan “ alat ” yang sangat bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia, oleh karena itu, diharapkan ada sekelompok manusia utama yang memiliki pemikiran jernih memihak pada keadilan,kejujuran da kebenaran. Para ilmuwan, cendekiawan, intelektual, intelegensia, budayawan, ulul albab, dan sederet nama lainnya maupun calon pemikir atau ilmuwan muda dengan seluruh potensi yang dimiliki, dengan kekuatan daya nalar dan daya cipta, rasa, sensitivitas, spiritualitasnya, serta kemauan, karsa menjadi tumpuan/harapan masyarakatnya. Cendikiawan “ orang terus menerus menerus meningkatkan kemampuan pikirannya untuk dapat memahami sesuatu ” ( Kamus Besar Bahasa Indonesia ).

Seorang ilmuwan kata Luwis Coter sebagaimana dikutip Arif Budiman, “ adalah orang yang kelihatannya tidak pernah puas menerima kenyataan bagaimana adanya, mereka mempertanyakan kebenaran yang berlaku pada suatu saat, hubungannya dengan kebenaran yang lebih tinggi dan luas. ( Arif Budiman,1976 : 43 ).

Untuk itulah para ilmuan atau calon ilmuan dituntut untuk selalu mengikuti proses perkembangan disiplin ilmu yang ditekuni atau yang dipilih, menyimak dan memperhatikan  suara masyarakat. Keterlibatan tersebut merupakan bagian dari ” resiko ” pilihan yang ditetapkan.

Dengan demikian dunia ilmu merupakan satu kebulatan yang tidak dapat dipecah-pecah atau dipisah-pisah, yang mungkin adalah dibagi-bagi saja. Kiranya hal ini sejak awal perlu diketahui bersama termasuk bagi para pemula, sehingga tidak terkotak-kotak secara kaku. Disamping itu dapat juga menjadi peringatan bersama agar dalam rangka membangun ilmu, selalu menghormati masing-masing ilmuyang ada, kemudian secara sinergik memecahkan segala permasalahan secara bersama pula. Masalah akan selalu yang dapat mengakibatkan terjadinya timbul kesenjangan antara fakta ( kenyataan ) dan harapan ( cita-cita ). Karena itu perlu dipertanyakan dan dicari solusinya. Ulmuan antara lain ditantang memecahkannya. Masalah merupakan “ pancingan ” agar kita berfikir. Dengan berfikir, tidak saja ( tidak ) cukup bekerja keras, tetepi kita juga bekerja cerdas, disamping bekerja ikhlas.

Perguruan Tinggi maupun pusat kajian dengan seluruh misi yang diembannya, sebagai salah satu pusat atau tempat persemaian yang paling tepat untuk membangun ilmu pengetahuan. Untuk itu diuniversitaslah kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik  sepanjang masa dijamin, sekaligus menjadi hak asasinya. Berpikir merupakan fitrah manusia, berfikir tidak pernah dapat dibatasi. Pada universitaslah seharusnya tradisi tersebut menyatu dan merupakan bagian integral dari kepribadian universitas dan seluruh civitas akademiknya, sehingga universitas merupakan pusat kebudayaan. Disamping itu seseorang karena memiliki kemauan/kemampuan kuat dan keras dapat masuk dan menjadi bagian dari dunia ilmu, ia adalah self made man.

Di universitaslah, ilmu pengetahuan dikembangkan, baik yang bersumber kepada rasio ( penalaran ) dan analis data lapangan. Kelompok yang aktif mengembangkan dan membangun penalaran, disebut kelompok rasionalisme, sedangkan yang mengedepankan analis data dan pengalaman dalam membangun ilmu masuk kemudian dalam kelompok empirisme. Kedua kelompok tersebut berperan dalam memajukan ilmu pengetahuan sesuai dengan metodenya masing-masing.

Sebagaimana dijelaskan didepan, ilmu dikembangkan mencari dan mempertahankan kebenaran, sekaligus mencoba menjelaskan rahasia alam ( membuka tabir alam ). Terbukanya tabir alam, misteri/ kegelapan alam dicoba dikuak. Pendekatan induktif, deduktif dan gabungan dibangun terus. Dengan berfikir induktif, deduktif, manusia telah pula menggunakan berbagai cara ( alat ) atau pengetahuan dan kemampuan, antara lain diantaranya melalui wahyu ( agama ), atau kemampuan lain dan diterima sebagaimana adanya, serta diyakini kebenaranya oleh para pemeluknya/ pendukungnya.

Disamping itu, masih dikenal pula cara berfikir instinktif atau intuisi yang lebih banyak mengutamakan/ mengedepankan pada cara-cara non analitik. Berfikir intuitifpun dalam kehidupan bermasyarakat memegang peran yang cukup penting.

Instink ( naluri ) merupakan dasar yang ada dijiwa setiap makhluk hidup, karena itu MC Dougall menyatakan naluri merupakan potensi suci yang mendorong seseorang untuk bertingkah tertentu. Karena itu demi kepentingan bersama bagaimana naluri yang kita miliki, anugerah tuhan dapat disalurkan. Lewat kegiatan-kegiatan positif.

Menurut Sigmon Freud, instink merupakan sumber pertama energi manusia. Instink sebagai penanggung jawab utama aktivitas dan kegiatan manusia.

Dengan demikian untuk mencari atau memperoleh ilmu pengetahuan, dengan berbekal kelengkapan jiwa sebagai anugrah tuhan, berkembanglah ilmu pengetahuan. Dengan kekuatan jiwa yang ada manusia mampu membangun, memelihara dan mengembangkan terus. Pengetahuan yang dimiliki tersebut secara turun-temurun dikembangkan oleh manusia. Kemampuan manusia mampu bertahan hidup dan menjawab tantangan yang dihadapi, membuktikan hal ini. Dari prespektif ini, posisi ilmu pengetahuan merupakan bagian dari kekayaan mental manusia.

Kemampuan alat kejiwaan yang dimiliki manusia berusaha menafsirkan dan mengurai gejala dan fenomena alam yang ada, sekaligus menjawab tantangannya. Jawaban yang diberikan pada awalnya hanya merupakan dasar pengalaman dan kebiasaan yang ada, antara lain melalui akal sehat ( common sense ). Akal sehat sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman secara tidak sengaja, bersifat foradik dan kebetulan, sedangkan karakter akal sehat yang disampaikan oleh titus yang antara lain landasannya berakar pada adat dan tradisi, cendrung bersifat pengulangan, kabur dan samar-samar, kesimpulan yang banyak diambil berdasarkan asumsi ( Depp & K, 1983/84 : 18 ).

Dari akal sehat dengan cara atau metode tertentu, berkembang terus ke metode coba-coba ( trial and error ). Dari trial and error yang terus menerus dilakukan oleh manusia, ilmu pengetahuannya pun semakin sempurna.

Dari sisi ini berkembang pula ilmu-ilmu terapan ( applied sciences ) dan ilmu seni ( art sciences ). Berbagai peninggalan serta warisan kebudayaan sekaligus peradapan dunia yang ada, misalnya suku indian, persia, mesir, cina, india, dan indonesia sendiri serta belahan bagian dunia lainnya, membuktikan hal ini. 

Kebudayaan dan peradaban adalah ” keselurahan akumulasi materiil dan spritual umat manusia ”...........” seluruh kekayaan materiil dan spiritual tentu ras atau masyarakat tertentu ”.......” yang berwujud materil yaitu peradaban. Sedangkan yang berwujud spiritual adalah kebudayaan. Selanjutnya yang dimaksud dengan produk-produk adalah apa yang dihasilkan oleh generasi, sedangkan kekayaan-kekayaan adalah apa yang diwariskan dari generasi-generasi terdahulu, bersama-sama membentuk suatu  peradapan dan sebuah kebudayaan. Arsitektur, desain sebuah masjid adalah salah satu produk materiil. Sedangkan puisi, agama, toelohi, seni hukum, hubungan sosial, nilai-nilai kemanusiaan dan etika adalah aspek-aspek pembentuk kebudayaan ” ( Ali Syari’ati, Jalaludin Rahmat, 1984 : 33 ).

Dalam Al Qur-an, dijelaskan manusia harus meninggikan derajat instink ( naluri ) dan tidak mematikan demi  kepentingan bersama. Bagi ilmuan harus bersikap khasyah/takut, al’intifah/keterbukaan, istislam/berserah diri kepada tuhan dan insyaniah/mengabdi kepada kemanusiaan ( M. Quraish Shihab, 2007 : 461 ).

BAB II
TEORI DAN PROSES BERFIKIR

C. Berpikir Bagian dari Kegiatan Manusia 

Manusia ditakdirkan oleh Tuhan sebagai mahluk yang paling lengkap dan sempurna, melebihi mahluk lainnya. Didalam diri manusia bersemayam suatu kekuatan yang berarti ”...memperlihatkan adanya dua daya yang hingga kini menyelamatkan dan memperkembangkan dirinya, yaitu daya tahunya dan daya untuk mencapai yang diketahui, yaitu maunya. Daya tahu dan daya mau inilah boleh disebut yang memanusiakan manusia. ( Pudjawijatna, 1975 : 25 ).

Para pemikir hakekatnya menjadi salahsatu kelompok yang sangat di tunggu-tunggu kedatangannya, posisinya ditinggikan oleh Tuhan. Dengan demikian seorang dihormati baik karena pemikirannya, posisinya, jabatannya, tingkahlakunya, maupun lanjut usianya serta alasan-alasan lainya.

Khusus proses berfikir ilmiah itu sendiri merupakan proses dan langkah panjang, bertahap, dan terlatih, teruji, sehingga pandangannya sampai hasil pemikiarannya dapat diterima dan dimengerti malah, sering menjadi panduan/ rujukan masyarakat.

Secara simbolis dikatakan, ketika manusia mamakan buah ilmu pengetahuan melalui Adam dan Hawa, ilmu masuk ke dalam tubuh manusia. Sesudah itu manusia harus hidup dengan bekal pengetahuan. Buah yang dimakan menjadi bekal hidup di dunia, setelah adam dan hawa bertemu kembali di dunia.

Pengetahuan tersebut mengantar manusia untuk mengetahui berbagai masalah yang dihadapi, yangterkait dengan kebenaran, kesalahan, kekurangan, kebaikan, keburukan, kemanfaatan, kejujuran, pengendalian dan sebagainya. Menghadapi pilihan-pilihan tersebut, manusia dituntut berfikir / bekerja cerdas, disamping bekerja/berfikir keras, sehingga mampu memecahkan masalah yang dihadapinya secara jernih.

Dengan demikian kegiatan berfikir semakin meluas dan mendalam “ seluas dan sedalam “ tantangan dan masalah yang dihadapi. Dari berfikir, berbagai alternatif pemecahannya dapat ditemukan. Kemampuan daya mau dan daya tahu manusia berkaitan erat dengan kemauan daya cipta ( nalar, pikir ), karsa ( kehendak,atau keinginan ), dan rasa ( mental, psikis, emosi ) yang dimiliki manusia. Semakin sempurna ketiga alat kejiwaan tersebut, semakin cepat pula manusia membangun ilmu pengetahuan, peradaban, kebudayaan, secara pribadi meraih cita-citanya.

Masing-masing kekuatan kejiwaan pada satu pihak didalam proses kegiatannya, memiliki cara atau teknik-teknik khusus -pada pihak lain- keberadaan ketiga alat kejiwaan tersebut saling melengkapi. Pada akirnya, jika ketiga kekuatan jiwa terjalin dalam satu sinergi atau keserasian yang utuh, akan menghasilkan sifat utama manusia ( manusia utama/insanul kamil ).

Dengan demikian, berfikir – dalam arti luas – selalu melibatkan ketiga komponen tersebut. Dari kegiatan berfikir manusia, memungkinkan munculnya berbagai gagasan, konsep, ide, teori, sampai menemukan jalan keluar. Karena itu berfikir ilmiah selalu bersifat terbuka. Bahkan seseorang yang sedang mengenang dan memeikirkan keluarganyapun, merupakan bagian dari proses berfikir manusia juga. Proses berfikir yang terakhir ini bersifat rutin, melalui mekanisme tertentu yang dilakuakn oleh manusia, bahkan mungkin tidak menghasilkan ilmu pengetahuan, tetapi hasilnya dapat berupa langkah-langkah keputusan, kepuasan maupun bentuk-bentuk kesadaran tertentu atas persoalan yang dihadapi.

Karena itu manusia sebagai Homo Sapiens ( Makhluk Berfikir ), “ setiap saat dalam hidupnya sejak bangun tidur, kembali tidur, akhirnya masuk liang lahat, tidak pernah berhenti berfikir. Hampir tidak ada masalah yang menyangkut peri kehidupannya yang terlepas dari jangkauan pikirannnya... ”. ( Langeneld, 1979 : 40 ). Kegiatan berfikir yang tidak pernah berhenti tersebut, melalui sentuhan tangan ahli patung yang termasyur, Auguste Rodin telah dipahat sebagai lambang kemanusiaan (manusia berfikir).

 Berfikir ilmiah, bukan bukan berfikir biasa, tetapi merupakan proses berfikir yang dilakuakan dengan sungguh-sungguh, insentif, sistematik, berdisiplin tinggi, terfokus pada satu titik masalah yang menjadi pusat perhatiannya, hanya dengan ketekunan dan keuletan tersebut, kemungkinan ditemukan ilmu pengetahuan baru dapat terlaksana. Disamping itu , -yang tidak kalah pentingnya dalam berfikir ilmiah- adalah harus didasari dengan penuh kejujuran dan penuh kearifan ( wisdom ) dan kehati-hatian ( prudence ), percaya diri ( self confidence ) serta menggunakan metode yang benar untuk memperoleh hasil yang semaksimal mungkin.

Sebagaimana terurai didepan metode mencari ilmu pengetahuan – secara klasik/ konvensional – dapat di kelompokan menjadi dua : 

Rasionalisme 

Dengan pelopor mulai Plato, Agustinus, Descartes, dan seterusnya. Proses berfikir rasional dan teratur yang di turunkan dari konsep, ide yang jelas menjadi teori.
Teori sendiri sebenarnya diawali dari konsep. Konsep merupakan akumulasi gagasan yang mampu mengeneralisasikan fenomena. Hasil generalisasi tersebut mampu menggambarkan fakta. Fakta yang berisi keajegan yang terus menerus menjadi teori. Karena itu keajagan suatu objek tersebut menjadi perenungan yang mendalam. Konsep tersebut diwujudkan dalam proposisi ( dalil ), dari proposisi yang bersifat aksiomatik dapat menjadi teori ( tesis yang di yakini kebenarannya secara universal ).
Dengan demikian, kegiatan berfikir dalam arti seluas-luasnya, tidak akan lepas dari sifat/kepribadian manusia itu sendiri. Berfikir merupakan salah satu refleksi “bekerjanya” potensi otak yang dimiliki manusia. Sebagai anugerah.
Karena itu Descartes menempatkan berfikir pada posisi yang cukup central, dengan ungkapan yang sangat terkenal, cogeto ergo sum ( saya berfikir karena itu saya ada ) membuktikan keyakinan ini. Adanya penghormatan yang berlebihan terhadap rasio yang diwakili kelompok Rasionalisme, memunculkan kritik, antara lain dikatakan, pengetahauan yang semata-mata rasional itu, selain sulit dan tidak dapat diraba ( hasil penalarannya ), terbukti juga bahwa kajian kelompok rasional, banyak yang sama atau relatif sama, bahkan dapat berbeda malah bertentangan dalam kesimpulannya dari satu objek pemikiran yang sama. Dengan demikian, pengetahuan rasional belum dapat menuntaskan masalah atau belum menghasilkan jawaban yang definitif.
Walaupun demikian perkembangan pemikiran yang semakian kritis dan rasional, membawa pemikiran manusia tetap maju dengan pesat. Akibatnya tradisi berfikir dogmatis banyak ditinggalakan, karna hanya bertumpu pada satu ajaran atau satu kebenaran saja dan yang berpindah ke doktrin pluralistik yang lebih terbuka.
Disamping itu akibat tantangan dan tuntutan serta perkembangan masyarakat yang semakin bebas, terbuka, komplek, rumit dan maju, metode berfikir manusia semakin berkembang karenanya, pemikiran klasik rasional berhadapan dengan hal-hal baru mengharuskan adanya penyesuaian metode dan kondisi baru. Akibatnya dalil/ teori dan pendapat lama, mungkin malah berubah/ditinggalkan. karena itu kebenaran ilmiah bukan satu-satunya kebenarans, bahkan hanya merupakan kebenaran yang bersifat probabilitas dan pragmatik. Untuk itu selalu ada tempat dalam kehidupan ilmuan untuk pengetahuan lain. Ilmuan membutuhkan agama, moral, dan seni untuk melengkapi kehidupannya. Berpilsafat bukan saja memberikan jawaban tetapi juga mengajukan pertanyaan yang tepat. Semakin dalam dan semakin luas pengetahuan kita mengenai sesuatu, maka semakin banyak pertanyaan yang timbul. ( Jujun S. Suriasumantri : 2007 ).
Sebenarnya kegiatan berfikir rasional dengan ciri utama,mendalam dan meluas, sering juga disebut istilah logika, bertujuan menuntun proses bekerjanya atau penalaran menjadi logik. Karenanya melalui metode berfikir deduktif tersebut dapat menghasilkan ilmu baru, asal tetap terkait dan konsisten dengan ilmu yang telah ada sebelumnya.
Berfikir rasional berpedoman pada prinsif serta konsisten nyambung dengan hasil kajian serta teori/ fakta yang telah ada atau menjadi landasan analisisnya, hasil pemikiran tersebut merupakan ilmu Pengetahuan baru. Proses tersebut akan berulang dan berkembang terus.
Sebagai mana diketahui, masalah-masalah sosial tidak mutlak menggunakan data dari hasil penelitian. Pengamat yang dilakukan oleh ilmuan sebelumnya yang cukup valid dapat pula dikembangkan, sehingga penemuan / hasil pemikiran tersebut melalui sintetis menghasilkan ilmu pengetahuan baru. Sifatnya memperkuat ilmu sebelumnya, ataupun mengembangkan serta menyempurnakanya.
Disamping berfikir rasional sebagaimana dijelaskan didepan proses memajukan ilmu pengetahuan dapat juga melalui penelitian lapangan. Dengan penalaran atau kegiatan berfikir analitik, tajam, dan jernih, ilmu pengetahuan berkembang terus.

2. Empirisme 

Empirisme dari bahasa yunani empeiria yang berarti coba-coba. Tokoh-tokohnya antara lain, Aristoteles, john locke, David hume, yang menitik beratkan pada pengalaman-pengalaman.
John Locke mengembangkan teori tabularasa ( selembar kertas putih ) yang bersih dan licin, lewat pengalaman dan panca indra manusia diproleh kebenaran. Karena sering terbukti kemampuan panca indra/ pengalaman terbatas, diperlukan kehati-hatian yang tinggi.
Dengan demikian, penemuan data dilapangan yang dapat digali atau ditangkap oleh manusia merupakan salah satu sumber ilmu dan kebenaran pula. Dengan teori berfikir induktif dan metode empirik ini, ilmu pengetahuan berkembang pesat. Karena itu, pendekatan emperik dianggap lanjutan dari berfikir rasional. Melalui analisis dan kesimpulan yang diperoleh, hipotesis dikukuhkan menjadi jawaban yang definitif, penelitian – menurut paham ini – menjadi keharusan ilmiah terutama dalam ilmu eksakta, sehingga penelitian lapangan menjadi wajib.
Diskusi tentang keharusan adanya penelitian bagi ilmuwan yang akan mengemukakan pendapatnya, pernah berlangsung/ terjadi beberapa tahun lalu. Alm. Prof DR. Doddy Tisnaamidjaya -ketua LIPPI waktu itu- mengemukakan, sebelum melakukan penelitiannya, cendekiawan hendaknya menahan diri dalam mengemukakan pendapatnya. Sebelum melakukan penelitian, cendekiawan tidak mungkin bersikap vini, vidi, vici, ( aku datang, aku lihat dan aku menang ).
Pandangan tersebut dibantah oleh Prof. DR. Emil Salim, dan mengatakan bahwa kaedah ilmu tidak mengharuskan seorang ilmuwan menggunakan dasar penelitian. Pengalaman kejadian-kejadian masa lalupun dapat dipakai sebagai dasar analisis suatu persoalan. Komentar ilmuwan harus diberikan atas kasus per kasus. Ada masalah yang dapat diberikan komentar berdasarkan penelitian, ada pula masalah-masalah yang dapat diberikan komentar tanpa melalui penelitian.
Diharapkan seorang ilmuwan, -tidak saja dapat mengemukakan atau melempar masalah-, namun yang penting dapat memecahkan masalah. Tanpa rasa takut kepada siapapun, semata-mata demi kepentingan kemanusiaan. 

D. Langkah-langkah Berfikir Yang Benar 

Kembali kepada berfikir ilmiah atau bernalar, di dalamnya mengandung banyak pilihan-pilihan, karenanya selain mengenal objek apa yang diteliti, harus memahami dan mengetahui langkah, metode, maupun teknik berfikir ilmiah yang benar serta tujuan yang hendak dicapai. Hal ini menjadi penting, karena objek yang menjadi sasaran berfikir ( penelitian ) mungkin sangat komplek, sambung menyambung dalam satu atau beberapa rangkaian sebab akibat dengan segala dampaknya. Hal ini juga untuk menjaga agar arah dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya tidak berubah.
Sering terjadi, objek penyelidikan atau penelitian maupun kajian ilmu dan pengamatan yang kelihatannya sangat sederhana, terbukti melalui pengamatan, penalaran dan penelitian yang lebih seksama tidak sesederhana sebagaimana yang sering dibayangkan. Karena itu langkah berfikir yang benar menjadi penting, disinilah peran logika cukup besar.
Logika, pada awalnya diperkenalkan oleh filsuf Cicero ( 1 abad SM ) dalam arti seni berdebat. Logika adalah, “ mempelajari syarat-syarat yang harus dicukupi oleh pemikiran yang menurut akal untuk menghasilkan pengetahuan yang benar “ ( Langeveld, 1974 : 6 ). Jadi benar tidak alur pemikiran kita, logika alatnya.
Untuk itu, langkah untuk mengetahui pendapat/penetahuan yang dikemukakan benar/logis -menurut para ahli- tiga faktor yang harus diperhatikan, ketiga hal tersebut saling terkait, tak terpisahkan dan sekaligus menunjukan jernihnya alur pikirannya, keabsahan, atau validitasnya pendapatnya. Ketiga faktor tersebut, yaitu : mempunyai pengetahuan ( dalam arti menguasai masalah ), mengambil keputusan ( mampu menyampaikan pikiran-pikirannya dengan lancar ), dan mampu memberi pembuktian ( memberi argumentasi atas pendapatnya ). 
Ketiga faktor itu merupakan bagian dari filsafat atau disebut logika formal atau berfikir logik. Logika formal disebut juga logika minor atau dialektika, yang mengutamakan langkah-langkah berfikir tertentu, konsisten atau dalam bentuk formal.
Dalam mengembangkan logika, Aristoteles sangat berjasa, dengan menggunakan istilah analitika dan dialektika. “ Analitika untuk penyelidikan tentang argumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang benar, sedangkan dialektika penyelidikan tentang argumentasi yang bertitik tolak dari hipotesis/ putusan yang tidak pasti ( K. Bertens, 1975, 138 ).
Secara praktis, siapapun diantara kita, didalam pertemuan misalnya, -lebih-lebih dalam forum ilmiah- pendapat/ pandangan yang disampaikan hendaknya diawali dengan penguasaan/ pendalaman masalah secara komprehensif atas masalah yang dibahas, kemudian mampu menyampaikan pokok-pokok pikiran kita. Ketiga dapat memberi argumentasi atau alasan atas pandangan yang kita sampaikan secara tepat, sehingga pikiran kita “ tidak asbun “ ( asal bunyi ).
Cara penyampaikan/ menyajikan menjadi penting pula, sehingga bahasa mempunyai peran yang sangat penting. Kemampuan bahasa ilmiah terutama generasi muda perlu dibanguan terus, sehingga menjadi budaya/ tradisi/ kebiasaan bersama.
Dengan demikian, budaya  ( kebiasaan ) membaca terpacu/ dipicu dengan budaya menulis. Hal ini merupakan prakondisi membentuk masyarakat kritis/ masyarakat madani ( civil society ). Budaya mendengar kalau terus menerus tanpa diikuti budaya baca dan menulis menjadi kurang baik.
Karenanya, logika formal merupakan bentuk pemikiran, sekaligus pengetahuan yang mempelajari atau menetapkan syarat/ aturan atau langkah formal yang harus dipenuhi kalau masuk dunia logika pada umumnya. Dimulai dari penentuan ( penetapan ) premis-premis tertentu, dilanjutkan dengan pembuktian dan di akhiri dengan penarikan kesimpulan. Kesimpulan merupakan pernyataan akhir yang sudah diketahui kebenarannya.
Disamping logika formal ada bagian-bagian lain dari teori berfikir yang masuk kedalam logika materiil ( logika mayor ). Pada bagian inilah isi/ inti pemikiran yang di buktikan lewat kemamapuan seseorang atas masalah yang di hadapi. Kemampuan menyampaikan isi pemikiran lewat pertemuan ilmiah, misalnya. Menguasai logika materiil sama dengan mengetahui inti masalah yang di kaji.
Diantara ketiga faktor tersebut aspek pembuktian memegang peranan yang sangat penting. Pembuktian dikatakan tepat, bila telah diadakan ( ditetapkan ) keputusan-keputusan yang di haruskan dan daripadanya telah ditarik kesimpulan menurut hukum (Filsafat Hukum, 1987 / 984 : 27). Karenanya hasil pemikiran tidak termasuk didalam bidang logika formal.
Kebenaran logika sampai pada tahap pembuktian, pada dasarnya sudah melalui beberapa langkah tertentu, yang dilakukan oleh kelompok atau aliran rasional. Dengan premis umum, kemudian diturunkan atau diaplikasikan kedalam logika deduktif melalui ajaran Aristoteles yang disebut silogisme. Silogisme mengajar manusia berfikir logis menggabungkan tiga proposisi, dua pernyataan sebelumnya menjadi dasar pembuktian.
Silogisme disusun melalui dua pernyataan yang berurutan, kemudian diambil satu kesimpulan. Pernyataan yang mendukung Silogisme adalah premis mayor dan premis minor, sedangkan kesimpulan yang merupakan hasil dari dua pernyataan tersebut diatas.
Contoh silogisme klasik adalah :
Semua manusia pasti mati ( premis mayor );
Ariestoteles adalah manusia ( premis minor );
Aristoteles pasti mati ( konklusio );
Beragam pola silogisme dapat dipelajari dengan mendalam lewat ilmu filsafat. Dalam buku ini sesuai dengan tujuannya sebagai pengantar filsafat ilmu, pembatasan silogisme dibatasi.
Contoh lain :
Premis benar, kesimpulan benar;
Semua manusia butuh udara;
Alea adalah manusia;
Alea butuh udara;
Contoh premis salah :
Robot benda bernyawa ( premis mayor – salah );
Mr. X adalah robot ( premis minor );
Mr. X bernyawa ( kesimpulan salah );

Berdasarkan penalaran deduktif, dua contoh diatas, contoh pertama valid, karena, antara dua premis logis terkait, sehingga kesimpulannya pun menjadi benar pula. Sedangkan contoh kedua salah. Dengan demikian didalam menghadapi kasus-kasus yang komplek, rumit dan ruwet, pemecahan masalah dengan menggunakan metode atau cara silogisme mempermudah memecahkan masalah.ilmu deduktif merupakan ilmu pengetahuan yang pembuktiannya melalui deduksi ( penjabaran ) sehingga ada penalaran dalil, norma, logika, teori, maupun variabel yang bersifat khusus untuk sampai pada kesimpulan umum. Jadi deduksi merupakan penjabaran/wujud rasionalisme yang diaplikasikan didalam fakta.
Ilmu deduktif bersifat matematis ( kesepakatan ) yang menjelaskan satu masalah. Jadi kalau satu kasus atau hasil pemikiran sudah memenuhi unsur-unsur yang terkait, hasil temuannya menjadi jelas. Sebagaimana satu alur pikiran yang benar, maka adanya konsep, proposisi ( pernyataan ), penalaran( reasoning ) dan pembuktian harus ada benang merah yang jelas dan konsisten.
Begitu pentingnya terpeliharanya alur serba sama tersebut, menjadi salah satu pedoman dalam mengikuti teori( pedoman ) yang konsisten ( consistency theory ). Lewat alur pikir teori ini, kebenaran akan terwujud, sebab unsur-unsur yang bersifat subyektif diminimalisasikan malah dihilangkan.Hubungan antara subyek dengan realita diusahan diperkecil.
Karena itu teori ini disebut juga “ teori koherensi ” ( teori yang ada pertalian logis ) antara obyek, sehingga hubungan antara proposisi ( pernyataan ) cenderung benar dan logis.
Disini yang utama, alur pemikiran harus terjaga dengan baik, jangan tersampai bias atau rancu. Untuk mendapatkan hasil yang benar, faktor kecermatan, kehati-hatian, menjadi penting. Matematika hakekatnya merupakan pengetahuan yang disusun secara deduktif pula.
Dengan demikian pendekatan/ cara kerja deduktif merupakan asas logika. Logika diartikan sebagai tehnik berfikir dan diciftakan untuk meneliti ketepatan penalaran.Untuk memahaminya, hendaknya memahami alur alur pemikiran yang jelas tentang penalaran. Penalaran apa yang harus diketahuai agar orang dapat berfikir dengan tepat?. Penalaran adalah proses berfikir manusia yang runtut yang hasilnya adalah pemikiran. Bentuk-bentuk sederhana dari pemikiran berupa.
Konsep ( coceptus, concep ); 
Posisi atau pernyataan ( propositio, statement );
Penalaran/dasar ( ratiocinium, reasoning );

Dalam logika deduksi sebagai “ penalaran dengan kesimpulan yang wilayahnya lebih sempit dari pada wilayah premisnya ”. Beberapa asas/ hukum logika sederhana selalu berkisar pada penyimpulan ( silogisme, syllogism ) berdasarkan putusan yang bersyarat ( hipotetis, hypothetical judgment ).
Pendekatan ilmu-ilmu deduktif adalah pendekatan yang bersifat pasti. Dalam ilmu pasti pendekatan yang digunakan adalah cara kerja deduktif menggunakan simbol = simbol dengan mendasarkan pada keruntutan penalaran yang pasti. Dalam matematika, penalaran diarahkan pada bagaimana sebuah rumus suatu perhitungan atau aritmatika ( dari rumus sederhana hingga rumus mutakhir ) dapat ditetapkan secara deduktif kedalam suatu masalah.
Disamping ilmu deduktif, sebagaimana disinggung didepan dikenal pula cara perfikir induktif ( ilmu induktif ). Titik tekan ilmu induktif yang disebut juga ilmu empirik ( pengalaman ), sasarannya adalah alam semesta dan obyek-obyek lain yang menjadi perhatian seorang peneliti/ilmuan. Obyek tersebut terkait dengan kepentingan kehidupan bersama umat manusia. Dari objek masyarakat yang beragam, diharapkan perkembangan ilmu semakin bersifat khusus dan menyempit, antara lain dalam bidang kedokteran, berkambang spesialis penyakit dalam, lever, dan lain-lain, antropologi, ilmu teknik, biologi, dan juga ilmu-ilmu sosial.
Cara kerja ilmu deduktif dan induktif titik tolaknya berbeda. Ilmu deduktif, kebenaran ilmiahnya lewat penjabaran-penjabaran/ deduksi, sebaliknya ilmu induktif menekankan pengalaman dalam dunia nyata, dengan metode dan penekanan observasi/ pengamatan dan penelitian.
Dengan demikian, metode induktif merupakan kesimpulan yang bersifat umum dari satu penalaran khusus. Lewat eksplorasi, menjelaskan/ menerangkan hubungan antara gejala yang ada. Disini hubungan kausalitas menjadi penting.
Untuk lebih memperjelas “ praktek ” pemahaman dua cara berfikir tersebut, contoh dalam berfikir deduktif dalam pemahaman makna dalam KUHP tentang pencurian ( mulai dari premis ) dan kedua berfikir induktif dalam melihat kasus konkret lain ( mulai dari fakta, misalnya tentang binatang buas ) sebagai berikut :
Pasal 362 KUHP ( Pencurian ) : “ barang siapa mengambil suatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,- “.
Unsur / elemen pencurian :
  1. Perbuatan “ mengambil “
  2. Yang diambil harus “ suatu barang “
  3. Barang tersebut “ seluruh/ sebagian milik orang lain “
  4. Mengambil untuk “ memiliki “ dengan melawan hukum.
Contoh dalam kasus pencurian tersebut lewat berfikir deduktif, sebagai berikut : 

Ditetapkan lebih dahulu premis/ dalil (unsur) suatu kasus; 
Premis ( anggapan dasar yang tidak diragukan lagi kebenarannya/ axioma antar premis mayor dan minor kaitkan dengan kasus );
Antara kedua premis harus ada elemen yang sama ( ada kolerasi ), 

Setelah diperoleh keyakinan ( ilmiah ) akan premis ( dalil ) yang ditemukan. Kemudian ditetapkan siapa yang memenuhi unsur-unsur tersebut untuk dinyatakan sebagai pencuri. Disini diperlukan analisis yang konsisten.
Sebaliknya pemecahan secara induksi atas suatu kasus, diawali dengan mempelajari  kasus konkrit, diteliti satu demi satu, serta bertahap. Langkah selanjutnya dari hasil penelitian satu persatu tersebut, di abstraksi ( generalisasi ) dengan tetap memperhatikan segi-segi hubungan kasus yang sudah “ di pecah-pecah “.
Dengan demikian, sifat korespondensip ( adanya hubungan ) dengan objek tetap terjaga dan digunakan sebagai titiktolak mencari kebenaran. Lewat metode tersebut, keajagan terjamin dan tetap berpedoman pada teori korespondensi ( corespondence theory ) tersebut diatas. Kebenaran -menuru teori ini- merupakan perpaduan antara fakta (realita yang diurai secara rinci), dianalisis oleh subjek ( pelaku ) yang sedang melakukan pengamatan fakta utama dalam mencari kebenaran.
Dalam meneliti sejumlah binatang buas -misalnya- akan dilihat, diteliti persaman phisik yang dimiliki, ada bulu, mata, kaki, maupun taring misalnya. Dari sekian fakta/ alat/ bentuk tubuh yang dimiliki, bila ada binatang memiliki bentuk tubuh yang relatif sama, namun mempunyai taring atau bertaring tajam, binatang tersebut adalah binatang buas. Kesimpulan binatang yang bertaring tajam adalah binatang buas ( lihat kucing, anjing, harimau, tupai dan lain-lain ). Sebaliknya binatang yang tidak mempunyai taring adalah jinak ( kambing, sapi dan lain-lain ).
Sebenarnya, baik logika deduksi maupun induksi pastilah berdasarkan premis-premis yang benar. Kebenaran itu sendiri secara alamiah dan ilmiah dapat diperoleh melalui penalaran rasional  dan pengalaman empirikal dalam arti luas. Dengan demikian, terbukti bahwa baik rasionalisme maupun empirisme dalam rangka membangun ilmu pengetahuan saling mengisi.
Karena itu, jika proses berfikir telah dilalui dengan benar, tahapannya menjadi lebih transparan, penarikan kesimpulannyapun akan menjadi benar atau relatif benar pula. Karenanya hasil apapun harus diterima apa adanya ( das sein ), tanpa rekayasa atau adanya upaya-upaya lain yang mencoba menutupinya, dengan demikian fakta itu suci ( apa adanya ).
Kebenaran menurut ilmu adalah kebenaran apa adanya, tanpa mengikut sertakan unsur subyektivisme. Adapun proses yang benar tetap berlaku untuk kelompok rasional deduktif dan kelompok empirik iduktif. 

E. Teori Berfikir Menurut Ilmu Pengetahuan 

Sebagaimana dijelaskan didepan, berfikir merupakan aktivitas manusia sehari-hari. Dalam operasionalisasinya, berfikir ilmiah memiliki jenjang/ proses atau tingkat tertentu sesuai dengan derajat kepentingan/ tujuannya. Di samping kedua hal tersebut, harus disesuaikan pula objek ( sasaran ) pemikiran ataupun penelitian yang dituju.
Dengan demikian, berfikir dalam kerangka ilmu pengetahuan memiliki ciri/teori maupun teknik tertentu yang membedakan dengan berfikir sehari-hari atau rutin yang dilakukan  oleh setiap manusia.
Berfikir ilmiah -tidak saja- memerlukan latihan, tetapi juga teori-teori yang terkait dengan objek dan hasil yang diharapkan harus diketahui. Untuk itulah melalui prinsif dan prosedur-prosedur tertentu, harapan untuk mengetahui ilmu pengetahuan baru yang bermanpaat demi kepentingan masyarakat dapat terwujud. Pemahaman atas teori dan proses berfikir yang benar merupakan bagian yang penting dari filsafat ilmu.
Kalau dapat dirumuskan, filsafat ilmu adalah ilmu yang mencoba menjelaskan pra anggapan ,pra anggapan atau asumsi dari setiap ilmu, sehingga sangat terkait dengan segi epistimologi atau filsafat pengetahuan yang ada. Sebagaimana diketahui setiap ilmu memiliki susunan dasar atau landasan, paradigma atau alat penyangga yang berbeda-beda, penyangga ilmu dapat dibagi menjadi tiga komponen, yaitu dasar epistimologi, dasar ontologi, dan dasar aksiologi.  

Dasar Epistimologi Ilmu atau Teori Ilmu Pengetahuan 

Dasar epistimologi terkait dengan asas ilmu pengetahuan yang diawali proses sampai pada penyusunannya dalam satu pengetahuan yang utuh. Dengan demikian aspek prosedur/ proses dan kriteria untuk meraih kebenaran menjadi penting. Dasar inilah yang membedakan apakah hasil temuan penelitian ataupun pemikiran tersebut ilmu atau non ilmu.
Dalam epistimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme ( kebenaran, pengetahuan ) dan logos ( pikiran, kata, teori ), sehingga epistimologi disebut theory of knowledge. Hal ini dilakukan ketika manusia memerlukannya, karena manusia cenderung ingin mengetahui segala sesuatu. Dengan demikian, epistimologi adalah percakapan/ pikiran tentang ilmu pengetahuan. 
Karena itu, ilmu pengetahuan yang memiliki ciri-ciri tertentu hanya dapat didekati dengan dan metode-metode tertentu pula. Disinilah “ keistimewaan ” ilmu, yang hanya dapat diraih dan dipelajari oleh orang-orang yang betul-betul tekun, sabar, ” tahan banting ”, penuh kejujuran dalam situasi dan keadaan apapun. Landasan epistimologi ilmu akan nampak dalam oprasionalnya. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan ” : 
a)      Kerangka pemikiran yang logis dengan argumentasi ( yang diterima akal ), bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah disusun; 
b)      Menjabarkan hipotensi ( dugaan sementara ) yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut dan; 
c)       Melakukan verifikasi ( kajian ulang ) dari hipotensi termasuk untuk menguji kebenaran kenyataan secara faktual. Secara akronim metode ilmiah terkenal sebagai logiko hypothetico verifikasi atau deducto hypothetico verifikatif ( Nyoman N, Sujana, Unair, 1988 );

Perbedaan dua kubu ( deduktif dan induktif ), melalui tiga langkah tersebut diatas sudah dapat terjembatani, sehingga ilmu pengetahuan dapat berkembang dengan baik. Dengan demikian kalau masih ada anggapan yang menyatakan bahwa pendapatnya yang paling benar ( solipsisme ), para ilmuan sendiri harus sering melakukan dialog. Hanya melalui dialog menurut plato dapat memproleh ilmu yang sempurna. Dialog  atau apapun namanya, diskusi, seminar, debat terbuka merupakan cara pengujian ( berfikir tertinggi ), sehingga dapat diperoleh pengetahuan yang sempurna ( episteme ).
Melalui penyelesaian diatas, pertentangan dua kubu yang semula sangat keras telah menemukan solusinya. Pada awalnya masing-masing kubu mempertahankan pendirian dengan teguh, melalui proses yang panjang dan dilengkapi bukti-bukti yang ada. Ternyata langkah-langkah gabungan keduanya tetap merupakan kebenaran ilmiah, dan penggabungan dua metode tersebut benar dan dapat diterima.
Dengan demikian pendekatan rasional dalam pendekatan teori ilmu,kemudian dilengkapi dengan pendekatan empirik dalam menguji satu kebenaran. Keduanya dapat di terima sebagai suatu kebenaran ilmiah. Akhirnya skepsitisme masing-masing kelompok menjadi berkurang, bahkan menjadi hilang.
Epistimologi ilmu inilah metodologi ilmu pengetahuan atau yang sering disebut metodologi penelitian yang sebenarnyamasuk kedalam filsafat ilmu. Karenanya didalam suatu penelitian, sering menggunakan empat langkah, mulai dari perumusan masalah, diteruskan dengan hipotesa atau teori atau deduksi, ditambah analisis atau induksi dan pengujian yang diakhiri dengan suatu kesimpulan, merupakan kesatuan langkah. Dalam epistimologi, yang dipersoalkan antara lain adalah:  

Apakah pengetahuan itu; 
Apakah yang menjadi sumberdari dasar pengetahuan; 
Apakah pengetahuan tersebut berasal dari pengamatan, pengalaman, akal budi, dan pemikiran;
Apakah pengetahuan itu merupakan kebenaran yang pasti atau hanya (masih) dugaan.

Dewasa ini, menurut Jujun S. Suriasumantri ( Republika, 20/ 9/ 07 ) “ selama proses belajar mengajar, maupun dalam kegiatan penelitian akademik, teori tidak difungsikan secara semestinya ”. Selanjutnya dikatakan penalaran yang berupa deduksi teoritik dari teori ilmiah dalam memecahkan masalah jarang sekali dikembangkan. Dalam kegiatan penelitian akademik pun fungsi teori hanya sebatas acuan dan penjelasan, bukan sebagai alat prediksi dan kontrol. Salah satu penyebabnya, ialah, bahwa dalam sistem pendidikan, kita hanya diajarkan satu epistemologi yakni epistemologi penemuan pengetahuan ilmiah, yang lebih berorientasi pada pengamatan dan induksi. Untuk itu, di sarankan diberikannya epistemologi alternatif yang lebih berorientasi pada penalaran dan prediksi, yakni epistemologi pemecahan masalah. Dalam epistemologi ini, kita mengacu pada teori-teori ilmiah yang relevan untuk mendeduksikan prediksi pemecahan masalah sebelum data dikumpulkan.

Epistomologi pemecahan masalah cocok untuk peserta didik yang sedang belajar untuk menguasai ilmu dan teknologi. Sedangkan epistemologi penemuan pengetahuan ilmiah cocok untuk ilmuwan profesional yang menerapkan keahliannya untuk memecahkan masalah. Kedua epistimologi ini dapat diberikan secara bersama-sama dalam mata pelajaran keilmuan, sebab mereka tidak menafikan malah justru saling melengkapi. Jika proses yang lebih dipentingkan dari pada hasil, epistemologi pemecahan masalah dipakai sebagai acuan. Sebaliknya jika hasil yang lebih dipentingkan dari pada proses, maka gunakan epistemologi penemuan pengetahuan ilmiah.

Dengan demikian, “ epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metoda dan valadity pengetahuan “. ( Surajiyo, 2007, 62 ) 

Dasar Ontologi Ilmu 

Dasar ontologi ilmu adalah dasar ilmu yang terkait dengan objek yang akan dikaji atau wujud hakiki dari ilmu. Melalui pemikiran maupun penelitian, manusia berusaha menangkap objek tersebut. Dengan ontologi mengkaji atau membahas kebenaran sesuatu ( objek ), tentang “ ada ” (onto), sehingga dapat memahami baik secara konkrit, faktual maupun metafisis, misalnya tentang alam maupun Tuhan.
Melalui pengetahuan ontologi ilmu ini, dapat dibatasi ruang lingkup penelaahannya. Ilmu merupakan bagian kecil dari misteri pengetahuan alam yang sangat luas, sehingga ilmu menjadi “ terbatas ” sesuai batas ontologinya. Hal-hal yang terkait dengan misteri yang dibalik dunia, seperti akhirat atau alam baka,surga dan neraka, diserahkan kepada disiplin lain ( agama ).
Didalam penentuan batas atau objek ilmu, akan terkait terus dengan ontologi ilmu itu sendiri. Ilmu sendiri bersifat netral, apa adanya ( das sein ), dan tidak memasuki wilayah lain, seperti moral, etika, agama, dan seterusnya, yang lebih bersifat seharusnya ( das sollen ). Netralitas ilmu kadang-kadang dapat atau sering digunakan, bahkan disalah gunakan oleh banyak pihak, yang bertentangan dengan hakekat ilmu itu sendiri.
Oleh sebab itu dengan memperhatikan kajian atas objek ilmu yang berkembang terus, aspek moral dan manpaat ilmu perlu diperhatikan dengan baik. Kegiatan para ilmuan yang cenderung merusak masyarakat dan alam, bahkan dapat mengurangi atau merendahkan martabat kemanusiaan harus dicegah. Bioteknologi ( rekayasa genetika ) dalam berbagai aspek kehidupan, serta menjadikan flora, fauna maupun khususnya manusia sebagai objek penelitian yang cenderung coba-coba, yang cenderung menentang kodrat agama dan moral, perlu mendapat pengawasan dan perhatian serius.
Sifat manusia yang serba tidak puas, serba ingin mengetahui hal-hal yang baru dari satu segi, merupakan bagian dari pembangun ilmu. Namun disegi lain hal ini sering disalah gunakan, sehingga mengakibatkan segi-segi negatif bagi kehidupan umat manusia sendiri.
Sebagai contoh, rekayasa genetika masih berjalan terus. Kelompok ilmuan bebas cenderung memberi kebebasan berkreasi, hal ini merupakan bagian dari hak asasi manusia, sedangkan etika dan agama adalah masalah lain.
Kelompok ini berhadapan dengan kelompok ilmuan moralis yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan. Menolak kegiatan-kegiatan yang dapat merusak etika dan keberadaan manusia itu sendiri. Semboyan ilmu untuk kepentingan ilmu berhadapan dengan kelompok lainnya yang bersemboyan ilmu untuk masyarakat. Kedua kubu sedang “ beradu ”. 

Dasar Aksiologi Ilmu 

Dasar aksiologi ilmu terkait dengan kegunaan , manfaat, ilmu, sehingga apakah ilmu itu perlu dikembangkan, dihentikan ( dialihkan ), atau justru harus mendapat perhatian, hal ini sangat terkait dengan kaedah atau norma ( nilai ) yang dianut/ dijadikan pedoman manusia dalam memandang baik atau buruk.
Sehubungan dengan itu perlu direnungkan kembali ungkapan Francis Bacon yang pernah menyatakan “ pengetahuan adalah kekuatan ”, berarti siapa yang paling banyak memegang dan menguasai ilmu pengetauan akan menjadi kelompok yang paling berkuasa. Karenanya orang/ kelompok orang yang menguasai ilmu pengetahuan sekaligus memiliki kualitas moral yang prima, tidak mudah menyalah gunakan ilmu yang dimiliki. Komitmen kelompok ilmuwan menjadi taruhan untuk memperhatikan hal ini.
Memperhatikan perkembangan, kemajuan serta posisi atau keberadaan ilmu dewasa ini, harapan tersebut merupakan keharusan sejarah. Sebagaimana terbukti, ilmu pada satu pihak dikembangkan untuk membahagiakan atau mensejahterakan umat manusia, namun dilain pihak dikembangkan untuk tujuan sebaliknya, yaitu untuk mendatangkan petaka umat manusia.
Memperhatikan posisi dan peran ilmu yang sangat besar dan kuat serta besar pengaruhnya kepada kehidupan masyarakat, komitmen pemegang ilmu baik perseorangan, kelompok maupun negara sangat penting. Kerjasama antar para pemegang ilmu pengetahuan dan teknologi perlu digalang terus. 

Visi ( Istilah alm. Prof DR Nurcholish Madjid, diterjemahkan tugas agung, bersifat jiwani, dambaan yang diinginkan masa depan/ what do we want to be ) dan misi/ sasaran agung, bersifat badani apa yang didambakan sekarang demi masa depan ( what do we want to have ). 

Visi dan misi menguasai ( pemegang ilmu ) harus jelas, karena berdampak akan kepada umat manusia, karenanya dunia memerlukan -tidak saja- manusia yang cerdas, tetapi juga yang terpenting bermoral, berakhlak mulia dan berjiwa besar.

Penekanan tersebut bukan merupakan harapan yang berlebihan, namun tetap wajar. Kewajaran tersebut sesuai dengan hakekat ilmu sendiri yang mencari dan mempertahankan kebenaran. Untuk kepentingan manusia sendiri, ilmu disusun dan dikembangkan oleh para pendekar ilmu ( jenius ). Karena itu jika ilmu pengetahuan diumpamakan sebagai sebuah bangunan, merekalah yang membangun, mendirikan sekaligus memeliharanya.
Melalui “ tangan-tangan ” mereka ilmu “ merekayasa ” sampai dewasa ini. Selanjutnya para penerusnya yang menambah dengan berbagai bahan baru, misalnya dengan mengecat, memelihara dan meneruskannya.
Bagi ilmu filsafat, metode atau pendekatan terhadap kajian sanga penting. Dengan metode yang tepat dan khas, orang diharapkan dapat memahami persoalan filsafat atau problem filosofis dengan baik. Berbagai metode yang sifatnya masih sangat umum dapat membantu orang menjelaskan dan memahami tema-tema filsafat (ontologi, epistemologi dan aksiologi).
Metode-metode itu antara lain: 
1)      Metode kritis reflektif pancaran balik/ pantulan; 
2)      Metode dialektik-dialog dari Socrates; 
3)      Metode fenomenologis dan; 
4)      Metode dialektik ala hegal;

Metode kritis reflektif merupakan cara atau metode memahami suatu objek atau   permasalahan dengan melihatnya secara integralistik mendalam dan mendasar untuk kemudian merenungkan kembali tentang sesuatu yang telah dilihatnya secara mendalam. Metode ini membutuhkan proses pemikiran yang berkelanjutan sampai seseorang menemukan kebenaran atau telah puas dengan apa yang dikajinya. Selama ini masih meragukan dan ingin bertanya tentang sesuatu itu, metode kritis reflektif tetap digunakannya. 

Metode dialektik – dialog dari Socrates merupakan suatu metode atau cara memahami suatu metode atau cara memahami sesuatu atau objek kajian dengan melakukan dialog. Dialog berarti komunikasi yang bersifat dua arah, ada seseorang berbicara dan ada seseorang lain yang mendengarkan. Dalam pembicaraan yang terus-menerus dan mendalam diharapkan orang dapat menyelesaikan segala problem yang ada. Dialektik berarti proses pemikiran seseorang yang mengalami perkembangan karena mempertemukan ide yang satu dengan ide yang lainnya. Tujuan metode dialektik – dialog ini adalah mengembangkan cara berargumentasi agar posisi yang bersifat dua arah itu dapat diketahui dan diharapkan satu dengan yang lainnya. 

Metode fenomenologis, salah satu metode pada ilmu filsafat yang dikemukakan oleh seorang filsuf bernama Edmund Husseri merupakan suatu metode yang digunakan orang untuk melakukan persepsi ( mengetahui dan memahami ) terhadap semua fenomena atau gejala yang berada disekeliling manusia dan untuk kemudian berusaha untuk menemukan hakikat atau eidos dari seluruh fenomena. Eidos diperoleh dengan cara mereduksi atau menanggalkan semua fenomena yang dianggapnya tidak relevan dengan keinginannya ( kesadaran / rasionalitas seseorang ), sehingga ditemukan fenomena murni. 

Metode dialektika ala Hegal adalah metode atau cara memahami dan memecahkan persoalan atau problem berdasarkan tiga elemen, yaitu tesa, antitesa, dan sintesa. Tesa adalah suatu persoalan atau problem tertentu, sedangkan antitesa adalah suatu reaksi, tanggapan ataupun komentar kritis terhadap tesa ( argumen dari tesa ). Dari dua elemen tersebut diharapkan akan muncul sintesa, yaitu suatu kesimpulan. Metode ini bertujuan untuk mengembangkan proses berfikir yang dinamis dan memecahkan persoalan yang muncul karena adanya argumen yang kontradiktif atau berhadapan sehingga dicapai kesepakatan yang rasional. ( Irmayanti, M Budianto, 2002, 14 ).

Metode-metode tersebut, merupakan perwujudan “ pertemuan “ antara filsafat dengan ilmu pengetahuan. Lewat pendekatan kritis reflektif misalnya, fakta dibedah dengan beragam metode, diharapkan menemukan kebenaran yang tidak berat sebelah ( menemukan hakekat kebenaran ). Sekaligus mengurangi resiko salah mengambil keputusan.
Hal yang tidak kalah pentingnya untuk memehami filsafat adalah sisi pragmatis atau kegunaannya. Banyak orang yang bertanya “ mengapa belajar filsafat ?”. Pertanyaan yang menggelitik semua orang adalah “ apakah manfaat atau faedah apabila orang belajar filsafat “. Pertanyaan ini hendaknya dapat dijawab dari berbagai sudut pandang. Pertama, filsafat kita dudukankan sebagai sarana sebuah kata benda ( “ benda untuk apa, isi apa, untuk apa “ ). Dengan melihat filsafat sebagai kata benda, maka tindakan tertentu atau perilaku tertentu dari seorang akan menggambarkan pandangan-pandangan hidup atau keyakinannya dalam wujud ide-ide serta gagasan-gagasan. Dalam bidang keilmuan, filsafat dapat dilihat sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang memiliki objek dan metode tertentu. Semua orang dapat mempelajarinya. Kedua, filsafat kita lihat sebagai action meaningfull action, sebagai sebuah kata kerja. Apabila sebagai sebuah kata kerja, maka yang berperan adalah manusia yang sangat aktif untuk mengisi tindakan atau perilakunya ( yang telah dipenuhi pandangan hidup atau ide tertentu ) dengan penuh makna. Tindakan yang bermakna berarti seseorang bekerja keras menyelesaikan segala masalah yang dihadapinya, baik secara individual maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Ia dapat mengaktualisasikan kehidupan bermaknanya dalam bentuk tertentu, misalnya dengan memiliki pekerjaan tertentu, memiliki keluarga, memiliki teman, dan sebagainya. Disamping itu ia sanggup berhubungan atau berinteraksi dengan sesama manusia, baik anggota keluarga, rekan kerja, ataupun pihak lain dengan baik, saling menghargai dan menghormati denagan segala persamaan ataupun perbedaan masing-masing individu ( Irmayanti, M Budianto, 2002 : 13/14 ).

Seterusnya kalau filsafat dilihat dari kata sifat , diharapkan sifat/ hakekat dan cara bekerja orang perorang dipenuhi sifat dari filsafat itu sendiri. Kalau sifat / hakekat filsafat dapat melekat pada diri orang perorang, maka penampilan didalam masyarakat akan menjadi lebih “ merunduk “ ( tidak sombong ) dan lain-lain.
Dengan demikian, membicarakan teori berfikir, berarti membicarakan sebagian kecil dari filsafat ilmu.
Disinilah, satu kebenaran teoritik didalam menjawab tuntutan dan harapan masyarakat akan dapat dibuktikan. Didalam menyusun dan membangun ilmu. Kedua teori memegang peran  yang penting. Teori adalah “ satu perangkat proposisi-proposisi yang disusun secara sistematik dan saling berhubungan antar yang satu dengan yang lain “ ( Filsafat Ilmu, 1983 ) atau merupakan “ pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu sektor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan...” ( Filsafat Ilmu, 1983 ).
Menurut Jonathan Tunner, terdapat empat unsur dalam menyusun teori yaitu adanya konsep-konsep, variabel, kenyataan-kenyataan emperik dan formal penalaran. Selanjutnya Abraham Kinioch mengusulkan bahwa teori terdiri dari delapan unsur yang meliputi :  

Adanya paradigma / pegangan; 
Memiliki perangkat konsep-konsep; 
Adanya hubungan logik antar konsep; 
Adanya perangkat variabel yang telah dioperasionalkan; 
Adanya metodologi yang dapat dipakai untuk melakukan pengujian hubungan proposisi; 
Data dapat diinterpretasikan; 
Adanya evaluasi isi proporsi-proporsi tertentu ( Webster, 1933 : 540 ). 

Paradigma adalah patron, model, kerangka berfikir atau dapat didefinisikan sebagai “ a philosophical or theoretical framework of a scientific school disipline whitin with theories law, generalitation and the experiments performed in support of them are formulated “ ( Filsafat Ilmu, 1983, 27 ).

Sedangkan Paradigma menurut Tommy F Away “ keseluruhan konstalasi baik dari teknik-teknik rasional maupun sistem-sistem kepercayaan yang ada didalam diri para ilmuwan “ (1993).

Karena itu dalam kerangka menyusun suatu ilmu pengetahuan yang benar, sebyah teorisecara umum akan berada pada tahapan “ accepted ” jika memenuhi syarat-syarat tertentu, walau pada tingkat sebelumnya mungkin masih berada tingkat hipotek (dugaan). Melalui pengujian berkali-kali, sebuah teori akhirnya berkembang menjadi hukum.
Bangkitnya modernitas, akarnya pada zaman renaissance (abad pencerahan), setelah perang salib. Manusia makin percaya diri (antroposentris), mengedapankan akal dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian kekuatan atas tiga unsur tersebut membuat manusia semakin tangguh menghadapi tantangan.
Lahirnya berbagai penemuan dibidang iptek dan pencerahan dari bidang sosial budaya (beragam isme berkembang). Berbagai ideologi modern semakin beragam. Pemikiran semakin positif ide positivisme menjadi paradigma utama.
Sebagaimana diketahui setelah itu ada gugatan terhadap paradigma modernitas (positivistik) oleh pemikiran kelompok post modern. Gerakan filsafat ini menggugat memampuan ilmu pengetahuan dengan memasukkan dan mengajukan berlakunya misteri psikologi manusia. Pertumbuhan kebudayaan yang tidak linear merupakan bukti bahwa terjadi proses evolusi terus menerus didunia ilmu. 

F. Aliran-aliran dalam Filsafat Ilmu 

1). Rasionalisme (pelopornya antara lain Descartes, Spinoza-Leibniz-Immanuel Kant).

Rasionalisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa akal (reason) merupakan alat terpenting dalam memperoleh ilmu pengetahuan serta menguji kebenaran pengetahuan. Sebaliknya empirisme menekankan pengetahuan dibangun dengan jalan “membedah” obyek penelitian. Rasionalisme mengajarkan ilmu pengetahuan diproleh dengan cara berfikir. Alat/instrumen dalam berfikir berupa kaedah-kaedah logika. Rasionalisme berpendapat bahwa sebagian atau sebagian penting pengetahuan merupakan hasil dari kerja akal. Contoh pemahaman tentang logika dan matematika begitu pasti, jadi benar menurut logika dan benar secara universal. Immanuel kant berpendapat bahwa, rasionalisme (kepastian) suatu kejadian adalah kejadian yang sesuai dengan kaedah sebab akibat (causality) sebagai kaedah alam. 

2). Idealisme ( Spiritualisme ), ( Pelopor antara lain, Plato, Fichte, Schelling, Hegel ).

Filsafat idealisme adalah doktrin/ajaran yang menekankan tentang hakekat dunia fisik hanya dapat dipahami kebergantungannya   pada jiwa (mind) dan spirit (roh). Idealisme dari ”idea” yaitu yang hadir dalam jiwa (fomed in mind). Keyakinan ini berasal dari pendapat plato. Pandangan ini pada awalnya dikemukakan oleh george Berkerley yang menyatakan bahwa hakekat obyek-obyek fisik adalah idea-idea. Plato dengan ajarannya tentang idea (cita) dan jiwa. Ide gambaran asli segala benda. Semua yang ada didunia merupakan jelmaan bayangan. Ide tidak dapat ditangkap oleh indra tetapi dapat dipikirkan. Indra hanya menangkap bayangan. Leibniz menggunakan istilah ini pada permulaan abad 18 dan menamakan pemiliran Plato sebagai lawan dari paham materialisme epicurus. Idealisme menggunakan argumen yang menyatakan bahwa obyek fisik pada akhirnya adalah ciptaan tuhan-argumen kelompok idealis obyek-obyek fisik tidak dapat dipahami terlepas dari spirit. Secara umum idealisme terkait dengan rasionalisme. Hal ini bagian dari mazhab epistemologi yang mengajarkan bahwa pengetahuan apriori atau deduktif dapat di peroleh manusiadengan akal. Lawan rasionalisme dalam epistemologi adalah emperisme yang mengatakan bahwa pengetahuan bukan diproleh lewat rasio (akal) melainkan melalui pengalaman/empiris. Pengikit aliran emperisme sulit menerima paham tentang semua realitas yang ada yang terkait dengan hal-hal yang bersifat metafisik. 

3). Empirisme ( pelopornya antara lain John Lock, Hune, Spencer ).

Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengeyahuan serta pengetahuan itu sendiri. Dengan mengecilkan peranan akal. Empirisme berasal dari bahasa yunani yaitu empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Untuk memahami empirisme perlu diketahui teori tentang makna dan teori tentang pengetahuan. Teori makna pada aturan ini biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, asal-usul idea atau konsep. Teori makna dan empirisme selalu dipahami lewat penafsiran pengalaman. Teoro pengetahuan menurut aliran rasionalis, ada beberapa kebenaran umum dan pengalaman. Metode ini akan  berkembang terus seiring dengan tuntutan zaman/perubahan zaman.
Sekilas Mengenai Teori Berfikir Modern 

Perkembangan berfikir intentif, merupakan suatu kegiatan berfikir non analitik. Proses perkembangannya sangat penting, karena didalam perkembangan lebih lanjut dalam proses berfikir ilmiah, terbukti bahwa selain kemampuan atau prestasi berfikir manusia yang semula hanya diukur sejauh mana jumlah IQ ( intelligence quotient / kecerdasan intelektual ) yang dimiliki seseorang. Test IQ temuan Alferd Binet pada abad XVIII.
Dalam berbagai aspek/ praktek kehidupan, terbukti seseorang yang memiliki IQ cukup tinggi dapat atau sering gagal dalam kehidupan bermasyarakat, sebaliknya - kadang -  seseorang yang memiliki IQ sedang-sedang, justru lebih berhasil dalam masyarakat. IQ menilai seseorang lewat satu aspek (segi) kecerdasan otak saja.
Adanya kasus-kasus seperti itulah yang menjadi pemikiran ( renungan ) para ahli, kemudian menyimpulkan bahwa keberhasilan seseorang – tidak saja – ditentukan oleh jumlah IQ yang dimilikinya, tetapi ada faktor lain yang ikut berpengaruh, yaitu berperannya faktor emosi seseorang yang tertuang dan terukur didalam kecerdasan emosional/EQ ( Emotional Quotient ).
Sejauh mana seseorang dapat menguasai emosinya atau dapat membawa dan mengendalikan emosi serta nafsunya, akan sangat mempengaruhi dan menjadikan seseorang lebih cerdas, sehingga penguasaan kecerdasan dalam arti umum tidak dapat dilepaskan dari kekuatan orang-perorang dalam menguasai emosinya. EQ menuntun kita untuk mampu mengambil keputusan berdasarkan keseimbangan antara emosi dan rasio.
Dengan dikuasainya kecerdasan emosional  (selft awareness) secara benar, berarti seseorang telah dapat mengusir tuntutan emosi yang sering over emosional (berlebihan). Sesesorang yang sudah mampu menguasai emosi, berarti orang tersebut sudah dapat lepas atau melepaskan diri dari himpitan atau tekanan emosi yang negatif, sehingga gejolag emosi dapat dikendalikan dan tidak menjadi budak emosi (nafsu sesaat).
Seseorang yang mampu mengendalikan emosi, jika salah, mengaku salah, kalau memang telah berbuat salah. Pengakuan tersebut merupakan salahsatu perwujudannya. Dalam Media Indonesia tanggal 26 Oktober 2005 menyebutkan orang sukses ternyata orang yang mampu mengendalikan emosi, (80 % orang sukses mampu mengendalikan emosinya EQ).
Menurut Ilmu Psikologi, mengenal dan mampu mengendalikan emosi, adalah salah satu ciri manusia dewasa dan berkepribadian matang. Anak-anak belum mempunyainya. Karena itu hampir tiap anak, termasuk anak TK, masih menunjukan emosi yang meletup-letup, bisa menangis meraung-raung ditengah keramaian jika keinginannya tidak terpenuhi.
Menurut Peter Salovay dan John Mayer (Psikolog dari Universitas Hardvard dan New Hampshire di AS), kemampuan mengenali dan mengendalikan emosi sendiri itulah yang dinamakan kecerdasan emosi atau EI (Emotional Intelligence) (Salovay & Mayer, 1990).
Menurut kedua pakar itu, orang dewasa yang tidak dapat mengenali dan mengendalikan emosinya sendiri (termasuk suka berantam, atau tidak mau kalah dalam kompetisi) adalah dengan EI rendah. Itulah yang terjadi pada sebagian politisi. IQ mereka boleh tinggi (beberapa anggota DPR bergelar S2 dan S3), tetapi EI mereka rendah, maka adu ototlah mereka, bukan adu otak.
Seseorang pakar psikolog AS lain, Daniel Goleman (1995), lebih jauh mengemukakan, ada lima wilayah kecerdasan emosi, yaitu : 
1.       Mengenali emosi sendiri; 
2.       Mampu mengelola emosi itu sesuai situasi dan kondisi; 
3.       Bisa memotivasi diri dengan emosinya; 
4.       Bisa mengenali emosi orang lain; 
5.       Mampu membina hubungan baik dengan orang lain. (Sarlito Wirawan Sarwono).

Dalam terminologi Yunani kuno, seseorang yang mampu mempunyai kemampuan pengendalian emosi, berarti orang yang bersangkutan telah memiliki kekuatan shiproshine (keseimbangan dan kebijaksanaan emosi yang terkendali). Dengan demikian, tuntutan emosinya sudah dapat dikuasai dan dikendalikan, ia sudah memiliki kematangan emosi.
Orang-orang Romawi kuno (Gereja kuno), menyebut : “temperantia atau kearifan mengendalikan emosi dirinya, maka ia akan benar-benar mengenal Tuhannya”.
Kecerdasan yang dikemukakan oleh Daniel Goleman tahun 1995 termasuk telah menjadi topik hangat dikalangan akademisi, sampai ada yang menyimpulkan bahwa E.Q lebih mampu daripada I.Q.
Sementara waktu bergulir terus, Danah Zohar beserta istrinya, Ian Marshall dari Universitas Hardvard menemukan cara berfikir lain yang dianggap asli atau genuine atau otentik, yang disebut kecerdasan spiritual (S.Q.) 

Kecerdasan Spiritual (Spritual Quotion/S.Q) dianggap sebagai puncak kecerdasan manusia yang berpusat pada ruang spiritual (Spriritual Space). Menurut Theodore Rotzack, ahli teknologi spiritual menyatakan “ dalam diri manusia ada ruang spiritual jika tidak diisi dengan hal-hal yang lebih tinggi, maka ruang itu secara otomatis akan terisi oleh hal-hal yang lebih rendah, yang ada pada diri setiap manusia “.

Melalui kecerdasan spriritual (kecerdasan hati nurani), kita diajak cerdas secara spiritual, yang berarti manusia diajak memasuki alam spiritual, sebab didalam ruang spiritual memuat kecerdasan yang tinggi. Ruang spiritual tersebut wajib digali dan dikembangkan terus-menerus agar seseorang tidak sampai terjebak atau tertipu dengan kesadaran semu (the false consciousness).

Manusia diharapkan berusaha terus-menerus untuk menggali sampai meraih kesadaran hati/jiwa/nurani/spiritual (the soul consciousness), sebab kesadaran spiritual merupakan puncak dari segala kecerdasan atau kesadaran.
Sementara itu, kalau kita ikuti pandangan dari teori ini, posisi E.Q merupakan bentuk kecerdasan yang tertumpu kepada kearifan batin, sedangkan S.Q tidak sekedar puncak kecerdasan, tetapi juga merupakan landasan untuk memfungsikan I.Q dan E.Q.
Dengan demikian,  berfikir tidak saja bertumpu pada I.Q dan E.Q tetapi juga melibatkan S.Q yang memiliki visi, harapan, nilai-nilai dan kecerdasan akan makna. Untuk mencapai tingkat kecerdasan spiritual, diperlukan energi dan kemampuan yang besar, karena seseorang yang ingin memiliki S.Q dituntut selalu memiliki kearifan jiwani dan etos kerja yang konsisten (hasil analisis pemikiran dan keyakinan menyatu) keteguhan hati.
Dalam pembahasan lebih mendalam tentang teori berfikir, lebih lanjut dikemukakan teori berfikir religiositas atau R.Q (Religiousity Quotient), yaitu teori berfikir berdasarkan keimanan. Tingkat berfikir religiositas ini tidak sekedar berfikir tentang beragama, tetapi bertumpu pada keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan YME. Pemikiran dengan tingkat religiositas yang tinggi percaya bahwa tujuan, proses, dan hasil penalaran selalu dilihat atau dimonitor dan diketahui oleh Tuhan.
Dengan demikian, seseorang yang telah menyadari R.Q, sadar bahwa setiap cita-cita (keinginan) atau kemauan negatif yang muncul melalui kekuatan ilmunya yang dapat mengakibatkan menyangsarakan, membodohi masyarakat dan hanya untuk kepentingan pribadinya akan berkurang, malah hilang dari ingatannya, yang tersisa adalah rasa takut akan murka Allah.

Pemimpin atau pemikir yang memiliki tingkat kecerdasan relegiositas tinggi, akan selalu menjalankan tugas-tugas yang diamanatkan kepadanya dengan penuh amanah (memegang kepercayaan) dan istiqomah (konsisten/ teguh) terhadap apa yang sudah menjadi tanggungjawabnya. Karenanya alangkah bahagiannya jika negara atau bangsa memiliki banyak pemimpin dan pemikir yang mengedepankan atau mendahulukan berfikir secara religiositas. Pemikiran dan tindakanya akan selalu diisi dengan nilai-nilai moral dan etika agama.
Kondisi masyarakat dunia yang cenderung serba materialistis, hedonistis, egoistis, serta permisif, menuntut dan berharap bermunculannya para pemikir dunia, nasional, bahkan lokal. Para pemikir tersebut tidak saja memiliki I.Q tinggi, tetapi juga memiliki E.Q, S.Q, dan R.Q yang handal. Pemikir seperti ini kedatangannya pasti ditunggu dan di harapkan oleh jutaan manusia.
Oleh sebab itu, jika Einstein pernah menyatakan “ ilmu tanpa agama adalah buta dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh “, dilihat dari perspektif teori berfikir diatas, pandangan tersebut sekarang terbukti, gabungan dari teori-teori yang dikemukakan diatas menjadi pembenar atas ucapan Einstein tersebut diatas dan bagi generasi penerus, hendaknya menjadi renungan bersama.

G. Berfikir Lateral dan Semiotika 

Perkembangan teori berfikir cerdas tersebut diatas, sepertinya tidak terlepas pula dari rintisan dan pemikiran Dr. Edward de Bono yang pernah memperkenalkan teori berfikir lateral (latheral thinking / berfikir menyamping, bukan menyimpang) pada dekade tahun delapanpuluhan. 

Berfikir lateral adalah berfikir non konvensional atau tradisional atau vertikal, tetapi berfikir alternatif yang memiliki bobot dan yang sama dalam setiap cara berfikir, serta tidak berpusat pada nalar saja. Bekerjanya diluar nalar (arasional), tetapi bukan irasional. Dengan berfikir lateral, akan terjadi proses seleksi dan proses tersebut akan berjalan terus. Jika ada satu arah yang bergerak berurutan, dalam setiap langkah, maka proses analitik berjalan terus.
Bekerja berfikir lateral bersifat provokatif, “jungkir balik” serta dapat melakukan lompatan-lompatan yang berbeda. Karenanya berfikir lateral prosesnya tidak terbatas, serba mungkin, terbuka, bahkan kreatifitas manusia berpeluang untuk menjadi semakin tajam.
Satu ilustrasi atau contoh yang dikemukakan oleh de Bono, tentang seseorang yang mendaki bukit dan berhasil naik kepuncak bukitnya, keberhasilan tersebut bukan ditentukan beberapa kali pengalaman pendakiannya yang pernah dilakukannya tetapi cukup sekali, dan dari puncak bukit dapat dilihat berbagai alternatif untuk melakukan pendakian selanjutnya, sehingga dapat ditemukan atau diperoleh alternatif mana yang terbaik untuk mendaki sampai ke puncak.
Nampaknya untuk dapat menemukan “meraih” dan berfikir - sebagaimana disebutkan didepan - , kuncinya adalah bagaimana energi mental dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk meraih kemajuan. Bahkan de Bono pun sering mengkonstruksi pikirannya, melalui pendekatan agama.
Nasehat Andi Hakim Nasution yang intinya mengajak siapa saja untuk menyeimbangkan antara fikir dan dzikir secara berimbang. Banyak berdzikir (kontemplasi, dzikir, meditasi, semedi) tanpa berfikir dapat mengekang perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun tempat mempertukarkan fikir dan dzikir adalah di filsafat ilmu (pendapat dalam arti luas).

Ramuan teori berfikir modern yang dikaitkan dengan pandangan yang memusatkan pada daya kekuatan batin bawah sadar manusia tersebut, menunjukan adanya kaitan yang erat antara rasio dan akal budi.
Kata seorang ahli, “berfikir jahat maka kejahatan yang akan terjadi, sebaliknya berfikir baik maka kebaikan yang akan terlaksana”. Hal ini sebagai akibat bekerjanya proses batin atau alam bawah sadar. Karena itu begitu bawah sadar menerima suatu ide atau gagasan, dia akan memproses dan melaksanakan perintah tersebut. Persoalanya kemudian, bagaimana bawah sadar seseorang mampu dan dapat menerima gagasan yang ada, dan dia patuh menjalankanya. Untuk mengetahui hal itu perlu waktu dan kesabaran serta pengalaman.

Dengan demikian, bawah sadar sudah merupakan prinsip atau keyakianan dan bekerja sesuai dengan hukum kepercayaan, sehingga kepercayaan yang terpatri didalam hati (bawah sadar) dapat langsung berhubungan dengan Tuhan melalui doa dan harapan. Doa merupakan media yang kuat dan ampuh dalam mengarungi kehidupan.

Semakin “tersebarnya” dan dihayatinya beragam teori berfikir tersebut diatas, diharapkan menjadi budaya ( kebiasaan ) bersama kebiasaan positif yang dipelihara, betapapun sederhananya, memiliki pengaruh dan malah kekuatan yang besar. Karena itu, membangun budaya positif dalam kehidupan bersama harus diperkenalkan sejak dini.

Dengan demikian, kebiasaan menjadi modal utama untuk meraih sukses. Dalam dunia modern memerlukan pemikiran modern, pemikiran yang menggabungkan unsur logika, emosi, dan spiritual. Hal ini hakekatnya merupakan penggabungan unsur real (fakta) dan unreal (hakekat). Karena itu penalaran (logika) meneliti hal-hal yag real, sedangkan “unreal” hanya dapat dibedah lewat bawah sadar yang mampu merekam energi besar alam semesta yang berpengaruh atas hidup manusia secara spiritual. Disinilah manusia memerlukan Tuhan.

Hubungan abadi, hubungan antar alam nyata dengan hakekat yang tak terpisahkan, merupakan tanda alam yang tak dapat diabaikan. Dari sisi sinilah bangkitnya ilmu semiotika, yaitu “the study of the way in which poeple communicate through sign and symbols” berkembang terus.

Tanda-tanda tersebut, secara lebih “mudah” dibahas dalam buku yang berjudul “Semiotika Tuhan” yang ditulis oleh Audifax. Lan Fang telah membahasnya dalam kompas  08 September 2007 antara lain dikemukakan, 

Audifax rupanya ingin menjawab pertanyaan tentang keberadaan Tuhan sebagai Zat Tertinggi. Bukan dalam 11 pandangan Tuhan manakah yang paling benar atau paling tinggi. Karena Tuhan terlalu besar untuk ditelaah dari sudut yang demikian kecil. Setidaknya Tuhan adalah satu daya (energi) yang maha kuat sampai melampaui batas keterbatasan manusia. Tuhan bisa mengada dalam berbagai bentuk tanda yang seharusnya bisa dibaca oleh manusia.

Hal ini menimbulkan tanda tanya besar dalam diri manusia. Tanda tanya akan Dia, akan alam semesta, akan masa depan, dan sebagainya. Maka, manusia membutuhkan tanda sebagai jawaban atas pertanyaan. Manusia membutuhkan pegangan dalam mendapatkan kepastian akan sesuatu.

Audifax menyebut dua tokoh semiotika, yaitu Ferdinand de Saussere dan Charles Sanders Pierce. Bagi Saussere, semiotika merupakan ilmu umum yang mengkaji kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat sehingga merupakan bagian dari disiplin psikologi sosial.

Sedangakan menurut Pierce, semiotika adalah bentuk lain dari logika yang merupakan salah satu cabang dari filsafat.

Sedangkan dalam perspektif pandangan Audifax, tidak ada sesuatu yang namanya “kebetulan” didunia ini. Semua kejadian, pertemuan, perpisahan, orang-orang yang saling bertemu, bahkan mimpipun, mengusung pesan yang bisa dihubungkan satu sama lain akan membawa kita kepada kesempatan yang kita inginkan. Dan, itu adalah tanda yang harus kita baca sebagai pesan yang ingin disampaikan-Nya.

Sedangakan tanda dari Tuhan semesta yang merupakan satu energi (daya) maha dasyat yang berada didalam lingkaran waktu yang kerap tidak diperhatikan.

Inilah sebenarnya energi (daya) luar biasa Tuhan yang bisa kita baca melalui tanda-tanda alam semesta. Bila kita mau sedikit lebih peka menandai setiap kebetulan yang terjadi dalam hidup kita sehari-hari, tidak ada kebetulan yang cuma kebetulan.

Skema inilah yang ada didalam buku Audifax yang ketiga ini. Tentang konsep yang memadukan intelektualitas dan spiritual manusia yang menyerap pengetahuan dan singkapan-Nya yang berserakan dalam realitas dan peristiwa yang terjadi. Manusia seharusnya bisa melihat realitas secara transparan melalui kepekaannya sehingga mampu membaca fenomena yang Dia inginkan bukan hanya dalam gerakan linier. 

Dampak adanya keyakinan bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia, semua by design Tuhan, maka siapapun yang menghadapi problem, betapapun sulitnya, tetap segar.

Dengan demikian, adanya cobaan bertubi-tubi yang dialami, dapat berdampak positif, bila yang bersangkutan sadar bahwa keadaan ini sudah di design dari Tuhan, sehingga dapat semakin kuat, “tahan banting” menghadapi hiruk pikuknya kehidupan yang semakin komplek. Namun dapat pula sebaliknya bagi pesimistik dan tidak yakin adanya garis yang harus dilewati dalam hidupnya.

Satu hal yang perlu diperhatikan, dengan kekuatan rasio yang dimiliki, manusia diharapkan mampu membaca tanda-tanda zaman / ayat-ayat Tuhan, sehingga lebih hati-hati dalam melangkah.

Agar kita didalam memahami/mengetahui ilmu semiotika tersebut, menurut pandangan penulis design yang dimaksud dalam garis-garis besarnya. Artinya dari garis besar dimaksud, manusia dengan kekuatan alat kejiwaan (daya cipta, rasa, dan karsa) sebagai anugerah Tuhan, wajib untuk menganalisis, mengurai dan memilih untuk mengurangi kesalahan/kelemahan kita.

Dalam Islam, disamping Sunatullah (hampir sama) dengan hukum alam, ada yang dinamakan Inayatullah (uluran tangan Tuhan) yang tidak pasti sama dengan sunatullah. Dari sudut pandang ini, maka yang disebut kebetulan -dalam islam- ada kaitanya -tidak saja- ulur tangan/tapi juga campur tangan Tuhan. Dengan demikian, didunia ini tidak ada yang serba kebetulan, semua terjadi karena kebesaran Tuhan.

Kalau pandangan tersebut dikaitkan dengan pengolahan pemikiran filsafat (dalam agama islam) ada sekelompok pemikir walau minoritas ada aliran jabariah, satu aliran yang “cenderung” menerima apa adanya (ada yang menganggap fatalistik). Hal ini terkait dengan pandangan bahwa segala sesuatu sudah ditentukan oleh Tuhan. Lawan dari aliran jabariah adalah aliran muktazilah (yang mengedepankan rasio sama, atau hampir sama dengan aliran rasionalisme) dalam memandang masalah-masalah kehidupan.



BAB III
HASIL OLAH PIKIR DAN PERAN ILMUWAN 

A. Kolerasi Hasil Proses Berfikir dengan Ilmu Berfikir 

Sebagai mana diungkapkan didepan, “berfikir ilmiah adalah berfikir yang telah melalui berbagai proses secara sistematik dan dilakukan dengan penuh kehati-hatian, kesabaran tanggung jawab sehingga tidak terjebak dalam kesalahan, baik didalam proses maupun sampai dengan pengambilan keputusan atau kesimpulan”.
Berfikir (pikiran) maupun logika selalu terkait dengan hasil yang logis, sehingga logika akan membuahkan hasil pikiran yang benar, serta dirumuskan atau dinyatakan dengan kalimat yang benar pula, sehingga publik tidak menjadi bingung karenanya.
Berfikir secara umum diasumsikan sebagai proses kognitif dengan mengisi pikiran/otak kiri yang pada saatnya mampu menyampaikan kembali dalam uraian yang lebih dalam dan luas, -sekaligus- mengisi otak kanan (efektif).
Membangun berfikir kognitif, berarti melatih otak kiri untuk mempertajam kecerdasan otak. Matematika dan bahasa merupakan merupakan “bahan baku” untuk melatih otak kiri. Penemuan para pemikir secara terus menerus tanpa henti, beberapa diantara pemikir tersebut menemukan/menghadirkan teori semacam membangun/mengembangkan manusia lewat tidak saja IQ yang selama ini digunakan sebagai tolok ukur kecerdasan manusia, berarti otak kiri yang dilatih terus ditemukan teori lain, yaitu EQ, SQ, dan RQ. Teori-teori tersebut memberi petunjuk bahwa latihan-latihan otak kanan memegang peran penting juga.
Otak kanan membangun segi efektif (berkesenian, perasaan, sosialisasi, spontanitas, imaginasi, gotong-royong, dan lain-lain) tidak boleh dilupakan. Justru kepekaan dari faktor-faktor tersebut sangat membantu keberhasilan seseorang dalam kehidupannya. Dengan pemberdayaan kedua belah otak tersebut, kemampuan intelektual dapat dikembangkan seoptimal mungkin.
Lewat latihan kedua belah otak tersebut, manusia menjadi lebih seimbang dalam mensikapi problematika hidup yang semakin komplek dan kadang ruwet.
Lewat pengembangan otak kiri dan kanan secara seimbang, manusia dapat berkembang tidak saja dengan bebas, sesuai dengan pribadinya tetapi juga tidak ada tekanan, paksaan, karena dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Manusia mengalir (panta rai) sesuai dengan pilihan dan kepribadiannya. 
Secara terminologi, logika berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hukum-hukum, kaedah-kaedah serta cara berfikir melalui akal atau budi kita untuk mencapai penalaran yang tepat dan benar. 
Tugas logika lebih lanjut sebagaimana di singgung didepan mempelajari bentuk-bentuk berfikir yang refleksikan dalam tiga unsur, yaitu kuasai masalah, atau pembentukan pengertian (konsep) artinya harus ada konsep lebih dahulu,
Kemudian konsep disusun didalam satu keputusan (proposisi) serta mampu menyampaikan pikiran/keputusan, -yang paling penting- mampu menetapkan dan memberikan pembuktian (inferensi).
Hasil penalaran yang memuat /mengedepankan ide harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Jika kurang hati-hati dalam proses tersebut, hasilnya dapat salah atau kurang memuaskan, -malah- sering subyektif.
Demikian pula, kelompok empirik yang meyakini kebenaran kesimpulannya hanya melalui penelitian atau gejala yang kongret, melalui analisisnyapun, dapat pula salah, jika kurang hati-hati. Dikhawatirkan hasil analisisnya “hanya” sekedar kumpulan fakta dan bukan data.
Sebagaimana diketahui  bersama, disamping kelompok atau aliran rasional dan empirik, -disinggung didepan- pengetahuan dapat diperoleh dengan intuisi atau wahyu melalui agama, dengan perantaraan melalui malaikat.
Dengan demikian, manusia dalam upaya memperoleh atau menghasilkan satu kesimpulan yang benar, sebagaiman dikemukakan didepan, jalan atau proses berfikir harus benar-benar menjadi salah satu ukuran utama.
Karena itu, teori kebenaran dari aliran rasional dengan landasan atau pedoman yang mengedepankan dan memperhatiakan konsistensi serta koherensi apa yang dihasilkan, dengan hasil pernyataan atau pendapat sebelumnya akan menjadi jaminan terhadap kebenaran ilmiah yang dikemukakan. Alur pemikiran yang konsisten tersebut, dalam praktek sering memakai bantuan matematika. Sebaliknya aliaran empirik yang menekankan teori kebenaran dengan pendekatan korespondensi, dalam arti hasil analisisnya terdapat kontak, hubungan langsung atau kebenaran dengan obyek yang dituju, merupakan keharusan pula.
Dua pendekatan tersebut sudah terjembatani dengan baik, melalui satu proses yang disebut sebagai logiko-hipotetiko-verifikatif, dan menurut Tyndall sebagai satu perkawinan yang berkesinambungan antar teori deduktif dan induktif (Filsafat Ilmu, 20).
Proses induksi mulai memegang peran dalam verifikasi atau pengujian hipotesis yang dikumpulkan dari fakta (data) empirik dalam rangka memberi penilaian suatu hasil, apakah hipotesis tersebut telah didukung dengan fakta yang ada atau tidak. Seterusnya penyusunan hipotesis didalam menyimpulkan suatu permasalahan yang diperoleh melalui pengalaman tersebut, mempengaruhi pula dalam proses berfikir deduktif. Melalui proses tersebut peluang hipotesis diterima semakin besar.
Disamping aliran yang mengedepankan metode rasional dan metode empirikal, dikenal pula metode eksperimental yang dikembangkan oleh sarjana-sarjana timur (muslim) yang mempunyai pengaruh cukup penting dalam cara berfikir manusia. “Eksperimental ini dimulai oleh ahli kimia, meskipun pada awalnya didorong oleh tujuan untuk mendapatkan “obat ajaib untuk awet muda” (elizil tetae) dan ‘rumus untuk membuat emas dari logam biasa’ namun lambat laun berkembang menjadi paradigma ilmiah. Metode eksperimental ini diperkenalkan didunia barat oleh filsuf Robert Bacon dan kemudian dimantapkan sebagai paradigma ilmiah atas usaha Francis Bacon” (Filsafat Ilmu halaman 57).
Melalui metode eksperimental tersebut diatas, maka teori, dalil atau pengetahuan yang diperoleh melalui uji sintesis dan analisis, serta penggabungan cara berfikir induksi dan deduksi, maka ilmu pengetahuan semakin berkembang, sebagaimana kita saksikan dewasa ini. Hasil sintesis dan analisis yang benar akan dapat membentuk struktur pengetahuan ilmiah yang lengkap pula.
Sesuai dengan sifat dasar ilmu pengetahuan yang selalu mencari kebenaran dan diabdikan demi kepentingan masyarakat, maka untuk membangun ilmu pengetahuan tersebut -menurut para ahli- memerlukan bantuan bahasa, matematika dan statistika.
Sebagaimana dikemukakan oleh para ahli, manusia tidak saja disebut homo sapiens (berfikir), tetapi juga disebut homo vaber, yaitu makhluk pembuat alat (pemakai teknologi), kemampuan tersebut akan muncul terus, karena dimilikinya ilmu pengetahuan, -disamping- homo laden (manusia pemain). Kalau hal ini dikaitkan dengan pendapat Aristoteles, bahwa manusia itu adalah makhluk bermasyarakat (zoon politicon), yang bermakna “man is a social and political being”, maka manusia untuk bisa hidup selalu memerlukan bantuan manusia lain. Manusia hanya bisa hidup kalau berhubungan dengan manusia lainnya. Disinilah peran dan posisi bahasa sangat penting.
Bahasa merupakan pernyataan atau ungkapan perasaan sekaligus sebagai alat komunikasi antar manusia. Bahsa pada dasarnya terdiri dari kata-kata atau istilah-istilah dan sintaksis.
Kata atau istilah merupakan simbol dari arti sesuatu, dapat juga berupa benda-benda, kejadian-kejadian, proses-proses, atau juga hubungan-hubungan.
Sintaksis merupakan cara untuk menyusun kata-kata atau istilah didalam kalimat untuk menyatakan arti yang bermakna.

Bahasa Dapat Di Golongkan Menjadi : 
1)      Bahasa Alami
Bahasa sehari-hari yang digunakan untuk menyatakan sesuatu yang tumbuh atas dasar pengaruh alam sekelilingnya. Bahasa alami dibedakan antara bahasa isyarat dan bahasa biasa.
Bahasa Isyarat
Dapat berlaku umum : menggelengakan kepala tanda tidak setuju, menganggug tanda setuju, hal ini diterima oleh umum;
Dapat berlaku khusus : untuk kelompok tertentu dengan isyarat tertentu pula;

Bahasa Biasa
Yaitu bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari, simbol sebagai pengandung arti dalam bahasa biasa disebut kata, sedangkan arti yang dikandungnya sebagai makna.

Bahasa ini rumusnya diambil dari bahasa biasa yang diberi arti tertentu, misalnya, demokrasi (demos dan kratein), medan, gaya.

Bahasa Artifisial
Adalah murni bahasa buatan, atau sering juga disebut dengan bahasa simbolik, bahasa serupa simbol-simbol sebagaimana yang digunakan dalam logika maupun matematika. 

2)      Bahasa Buatan 
Bahasa yang disusun sedemikian rupa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan akal pikiran untuk maksud tertentu. 

Kata dalam bahasa buatan disebut istilah, sedangkan arti yang dikandung istilah disebut konsep.
Bahasa buatan dibedakan antara bahasa istilah dan bahasa artifisial. 

Bahasa Buatan merupakan bahasa ilmiah yaitu bahasa yang diciptakan oleh para ahli dalam bidangnya dengan menggunakan istilah-istilah atau lambang-lambang untuk mewakili pengertian-pengertian tertentu. 

Bahasa Ilmiah merupakan kalimat-kalimat deklaratif atau satu pernyataan yang dapat dinilai benar/salah, baik menggunakan bahasa biasa sebagai pengantar untuk mengkomunikasikan karya ilmiah, maupun menggunakan istilah-istilah serta simbol-simbol secara abstrak.

Dengan demikian bahasa, baik verbal maupun tulis merupakan alat komunikasi yang penting dalam seluruh proses pemikiran ilmiah. Melalui bahasa, ilmu yang memiliki sifat publik akan dan harus diketahui oleh masyarakat. Karena itu, mungkin menjadi benar jika bahasa dianggap kaki ilmu pengetahuan agar dikenal publik, sehingga benar pula, jika manusia oleh Ernst Cassirer disebut Animal Symbolicium, makluk yang menggunakan simbol. Tanpa adanya bahasa, seseorang didalam usaha menguasai ilmu pengetahuan menjadi terhambat, atau bahkan menjadi mandek.
Dengan bahasa pulalah, manusia mampu mengembangkan abstraksi sampai khayalan untuk menjelaskan ide-ide yang terkandung dalam alam pikirannya, sehingga manusia mampu membangun ilmu pengetahuan.
Karena itu, siapapun yang menyampaikan pandangan/pendapat dapat dianggap benar, bilamana seseorang mampu memberikan jawaban dengan argumentasi/alasan yang benar. Didalam menjawab pertanyaan publik, jawaban yang harus dipersiapkan meliputi jawaban yang berisi pertanyaaan  mengapa, apa, kapan, siapa, dan bagaimana sampai pada pandangan tersebut.
Dari sekian warna pertanyaan tersebut, pertanyaan-pertanyaan diatas penting semua untuk memberi bobot atas pikiran orang, namun bagi penulis pertanyaan mengapa (why) memiliki bobot khusus, dari pertanyaan mengapa dapat berkembang, digali ataupun dicari dan diminta / pertanggung jawaban landasan pikiran dari beragam sisi-sisi lain dari sang pemikir tersebut.
Selain bahasa, matematika mempunyai peran yang penting didalam membangun ilmu pengetahuan. Didalam matematika terdapat unsur kesepakatan atau perjanjian. Matematika bertugas melakukan kwantitifikasi atas masalah-masalah yang mengandung atau yang berisi unsur kualitatif/kualitas. Dengan demikian, matematik merupakan unsur penting dalam berfikir deduktif, sekaligus menjadi bahasa yang melambangkan serangkaian makna yang disampikan.
Lambang-lambang matematika bersifat artifisial dan baru mempunyai arti sebuah makna, kalau diberikan arti. Tanpa itu, matematika sekedar himpunan atau kumpulan rumus-rumus mati. Yang paling sukar untuk dijelaskan kepada seseorang yang baru belajar matematika, keluh Alfred North Whitehead, ialah bahwa X itu sama sekali tidak berarti. (Filsafat Ilmu, hal 68).
Perkembangan matematika tidak lepas dari peradaban manusia, karena tanpa matematika, pengetahuan akan berhenti “pada tahap kwalitatif” yang dapat mempersulit dan menghambat proses penawaran didalam menghadapi kajian-kajian ilmu yang lebih rumit.
Disamping bahasa dan matematika, statistika juga mempunyai peran penting terutama dalam ilmu eksakta. Dalam beberapa ilmu sosial, pentingnya ilmu statistika masih menjadi perdebatan, namun statistika sederhana untuk ilmu-ilmu sosial tetap diperlukan.
Statistika merupakan sarana berfikir ilmiah yang membantu penarikan kesimpulan secara induktif dari fakta-fakta empirik, dengan adanya statistika mempermudah dibacanya suatu data. Penarikan kesimpulan secara statistika bersifat ekonomis, dan derajat keyakinan kita atas kebenaran kesimpulan tersebut secara probilistik dapat diperhitungkan pula. (A. F. Chalmers, 1983 : 5).

Kata sebagaian pemikir, “figure can’t lie, but liar can figur”. (angka-angka tak dapat berbohong tetapi para pembohong pandai memainkan angka). 

Karena itu, kebenaran atas hasil statistika sering menjadi “relatif” karena tak dapat dilepaskan dengan kebebasan pihak-pihak yang terkait untuk memberi penafsiran.
Muncuknya statistika memang relatif muda dibandingkan matematika bahwa pengetahuan yang ditemukan berdasar nalar, tingkat kebenarannya ada pada taraf “ilmul yakin”. Sedangkan ilmu yang diperoleh atas dasar pengamatan, tingkat kebenarannya pada taraf “ainul yakin”. Kedua kebenaran tersebut, ilmul yakin dan ainul yakin masih bersifat relatif. Hal ini terbukti dengan adanya pandangan atau pendapat baru yang sering kali berubah dan berganti bahkan meniadakan pandangan-pandangan lama, hal ini menunjukan sifat nisbi (relatifitasnya) pendapat seseorang.
Dengan demikian, kemutlakan ilmu pengetahuan terbukti hanya dapat memperoleh atau dikumpulkan melalui rasio yang bertaraf “haaqul yakin”, kebenaran mutlak tersebut hanya dimiliki Tuhan.

B. Metode Menemukan Ilmu 

Hakekatnya menemukan ilmu berarti menemukan kebenaran. Lewat ilmulah, hal-hal baru mungkin ditemukan ataupun masalah dapat dipecahkan.
Ilmu tidak datang dengan sendirinya, ia bertemu dengan kita karena “diundang”. Ia barang yang belum jadi masih rahasia sifatnya, melalui pemikiran yang mendalam dan penelitian yang terus – menerus, berbagai akumulasi (kumpulan) pengetahuan yang relavan dan sejenis, dapat ditemukan dan diuraikan, demikian pula masalah-masalah yang ausaha untuda didalam masyarakat mampu dipecahkan. Para ilmuan berusaha untuk mengetahui, membedah sampai dapat memperoleh dan menguasai ilmu, dan melalui ilmu tersebut tentu saja dapat difungsikan setelah diketahui, melakukan sintetis, dan melakukan analisis atau berbagai masalah yang terjadi dalam masyarakat.
Pemikiran atau pengamatan atas permasalahan yang ada, disamping ada yang sederhana banyak juga yang cukup pelik bahkan asing. Untuk mengetahui dan memecahkan misteri tersebut, diperlukan pengetahuan yang mampu untuk memecahkannya.
Penguasaan ilmu, tentu saja tidak dapat dilepaskan dari pengalaman dan pengembangan ilmu yang dikuasai oleh seseorang sebelumnya, terutama ilmu yang terkait dengan bidang kajian yang ditekuni selama ini, sehingga kepekaan dan ketajaman atas masalah yang diajukan pemecahannya menjadi lebih tepat. Dengan demikian, baik dalam proses sintesis, analitik maupun proses “logiko hipotetico” verifikatif dapat berjalan dengan cepat pula.
Dengan penguasaan atas langkah-langkah tersebut pencarian ilmu pengetahuan akan menjadi semakin mudah, efisien dan efektif. Berarti tahapan langkah-langkah sebagaimana diisyaratkan dan diajarkan oleh filsafat ilmu telah dipahami.
Dalam proses pencarian ilmu pengetahuan  baik deduktif maupun induktif, peran pikiran (logika) sangat menonjol. Hubungan antara pikiran dan pengetahuan yang akan dicari atau digali, dalam dunia pendidikan digambarkan oleh Ewans sebagai berikut “knowledge is made up of the facts of the subject and the students ability to use those facts to think and solve the problem”. 

Dengan demikian, ilmuan dalam memproses data menjadi fakta atau obyek pengetahuan untuk disusun lebih teratur, jelas, bermanfaat sehingga dapat dimengerti oleh masyarakat menjadi mutlak. Dunia pendidikan dapat dijadikan labolatorium yang dapat menuntun dan mengembangkan potensi para mahasiswa, sehingga kemampuan dan kepekaannya terlatih sejak dini.
Untuk itu, sejak dini mahasiswa diajak, diberi tugas atau dibudayakan untuk mampu memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan atau masalah keilmuan sesuai dengan bidangnya ( study kasus ) yang ada dengan benar dan terprogram dengan baik. Mahsiswa, disebut/ditambah predikat maha karena didalam dirinya mempunyai alat vital yaitu otak, rasio, nalar, pikir yang siap dikembangkan, diisi dan dibangun untuk kepentingan bersama.
Hal ini hanya dapat terlaksana, jika para ilmuan termasuk pendidik memiliki spirit dan jiwa yang dibungkus dengan sikat ilmiah dan tanggung jawab ilmiah yang tinggi, dengan tekun bersama mahasiswa mengembangkannya. Dengan demikian, universitas atau perguruan tinggi benar-benar diharapkan menjadi wahana ( lahan ) transfer ilmu dan budaya keilmuan. Karena itu, universitas merupakan lembaga atau institusi pendidikan menjadi tempat persemaian generasi muda dalam menempa otak, mental, integritas dan kepribadiannya dalam arti seluas-luasnya.
Dengan demikian, cara untuk menemukan, mengembangkan atau menyebarluaskan ilmu sejak awal seseorang harus memiliki sikap ilmiah yang benar. Sikap ilmiah merupakan sikap awal yang harus dipersiapkan oleh ilmuan.
Sikap ilmiah yang dimaksud, diawali dengan sikap terbuka. Keterbukaan dimulai dari proses mencari atau menggali ilmu juga pada proses sintesis atau analitiknya sampai kepada penemuan-penemuan baru, berupa hasil apa adanya tanpa ada yang ditutupi atau disembunyikan. Sikap keterbukaan tersebut akan dapat menumbuhkan kepercayaan serta merebut hati rakyat.
Selanjutnya sikap ilmiah harus dibarengi dengan menjauhkan pamrih dan kepentingan pribadi yang berlebihan, sehingga pemikiran dan penelitian yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan umum.
Ketiga, kejujuran atas hasil yang diproleh akan disajikan kepada publik apa adanya, tanpa ada unsur rekayasa atau pemitar balikkan data dan kenyataan yang ditemukan dilapangan.
Kemudian seorang ilmuan juga harus memiliki kepekaan, kepedulian, tanggung jawab ilmiah, dan tangguang jawab kepada publik, oleh sebab itu sikap ilmiah pun tidak dapat lepas dari keharusan untuk melakukan seleksi atau pilihan obyek yang akan diteliti atau ditekuni, sehingga hasil yang akan diperoleh dan disampaikan kepada publik tidak sampai menggoncangkan serta menggelisahkan anggota masyarakat. Karena itu, sikap arif dan bijaksana juga menjadi bagian integral yang harus dipertahankan terus.
Sikap lain yang harus diperhatikan, dan tidak boleh dilupakan terutama yang terkait dengan adanya kepercayaan diri yang cukup kuat, seorang ilmuwan harus yakin, bahwa pendapat (pandangan) dan penelitian yang dilakukan bermanfaat untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama.
Sesuai dengan teori dan korespondensi dan konsistensi yang ada, hasil pemikiran dan penelitian yang dikemukakan, tidak berdiri sendiri, atau lepas, tetapi harus selalu dikaitkan dengan hasil atau pandangan-pandangan yang sudah ada sebelumnya, sehingga alur pemikiran akan tetap runtut dan perkembangan ilmu tidak akan kehilangan jejak. Hal ini penting untuk diperhatikan, demi kontunuitas dan perkembangan ilmu-ilmu, sekaligus dapat mengetahui (mentrace) alur perkembangan, sumbangan pemikiran dari para ilmuwan sebelumnya, sekaligus bagian dari etika keilmuan.  

C. Hubungan Ilmu Pengetahuan dan Kebenaran 

“ Ciri utama ilmu adalah kemampuannya dalam menjelaskan dan meramalkan “ (Beerling, hal 5), kualitas ilmu pengetahuan semakin besar justru karena kemampuan tersebut.

Untuk dapat meramal dengan relatif tepat, valid dan terpercaya, ilmu pengetahuan memiliki sifat dan nilai obyektifitas tinggi serta berlaku umum, dan tersaji apa adanya (das sain), lepas dari subyektifitas seseorang. Sifat dasar tersebut hendaknya diserap dengan benar bagi siapa saja yang terjun kedalam dunia ilmu atau calon ilmuwan pada umumnya.

Obyektifitas ilmu dan perkembangannya akan terus melaju, karena sifat dan tuntutan manusia-manusia itu sendiri. Rasa tidak pernah puas dan rasa ingin tahu, ikut ikut memberi andil atau cukup berperan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan itu sendiri. Melalui kemampuan yang dimiliki manusia, berkembang pula instrumen, sarana, alat yang dipergunakan oleh para ilmuwan, sehingga iptek mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Hakekat sifat ilmu walau bersifat mandiri atau otonom, tidak dapat lepas dari sifat dasar manusia, sebagai makhluk bermasyarakat. Tentu ini tidak berarti memustahilkan terjadinya bentuk-bentuk pengetahuan, pemahaman serta kebijaksanaan lain, yang juga dipandang berharga. Dan tidak dimustahilkan pula ialah, bahwa daam tahap terakhir ilmu dipandang sebagai bagian integral dari kebudayaan masyarakat. (Beerling, hal 6).
Dengan demikian, antara ilmu pengetahuan dan masyarakat terjalin hubungan yang erat, ilmu pengetahuan dikembangkan semata-mata demi kepentingan atau kemajuan masyarakat, masyarakatpun banyak memberi “input” kepada ilmu, sehingga banyak para ahli yang melihat kaburnya perbedaan antara ilmu murni (basic science) dan ilmu terapan (applied science) dalam menghantarkan anggota masyarakat agar dapat hidup lebih tenang, bahagia bersama-sama.
Sehubungan dengan itu Beerling menyatakan lebih lanjut “ Pengetahuan Ilmiah adalah pengetahuan yang mempunyai dasar pembenaran. Segenap pengaturan cara kerja ilmiah diarahkan untuk memperoleh pengetahuan. Penyelidikan ilmiah tidak akan membatasi hanya pada satu bahan keterangan, melainkan meletakan hubungan antara sejumlah bahan keterangan, dan berusaha agar hubungan tersebut dapat merupakan satu kebulatan “ (Ali Syari’ati, hal 56).
Ilmu hanya akan dapat berkembang dengan baik dalam satu masyarakat yang menghormati kebebasan dan persamaan. Hanya dalam sistem politik demokrasi, kebebasan dan kreatifitas anggota masyarakat dapat jaminan untuk berkembang terus.
Sebagaimana diketahui, dalam setiap masyarakat memiliki nilai dasar dan tujuan yang selalu dipertahankan, nilai dasar yang akan dipertahankan dari suatu generasi ke generasi, sehingga menjadi kekayaan bangsa dalam wujud atau bentuk kebudayaan dan peradaban, disinilah ilmu pengetahuan mempunyai kontribusi kuat untuk memelihara dan mengembangkannya.
Ali Syari’ati mengutip (menjelaskan), makna peradaban dan kebudayaan adalah : keseluruhan akumulasi materil dan spiritual umat manusia, sementara pada sisi lain, pengertian kebudayaan adalah “ sebagai salah satu sumber utama sistem atau nialai-nilai suatu masyarakat, sekaligus menentukan atau membentuk sikap mentalnya yang terpantul dalam pola tingkah lakunya sehari-hari dalam berbagai kehidupannya. Sikap mental atau boleh pula disebut sebagai pola berfikir yang langsung mempengaruhi tingkah laku seseorang dalam masyarakat tampak sebagai kunci yang menentukan dinamika kemampuannya dalam mengarungi berbagai aspek kehidupannya “. (Yuyun S. Sumantri, 1978 : 238).

Karena itu, pengetahuan dapat dikatakan lepas dari pembangunannya dan tujuan bermasyarakat, jika diarahkan, dibelokan dan ditujukan untuk “menghancurkan” masyarakat sendiri. Arah seperti itu, sama artinya menentang kemajuan budaya dan peradaban masyarakat sendiri.
Dari titik pandang inilah, perlu disadari kebenaran ilmu ditengah-tengah masyarakat terikat dengan kaedah atau tujuan dasar yang ada, yaitu mencari dan mempertahankan kebenaran. Melalui ilmu sebenarnya dapat dipandang sebagai latihan untuk mencari dan menghayati nilai-nilai dasar. (M. Hatta, 1957 : 36).

Diakui bahwa banyak ilmu pengetahuan dengan produk teknologi yang dikembangkan, dipakai dan dipergunakan keluar dari jalur kebenaran, atau disalah gunakan untuk tujuan-tujuan destruktif, bertentangan dengan segi-segi kemanusiaan, moralitas dan agama. Disinilah peran ilmuwan, bersama-sama dengan budayawan, agamawan, intelektual yang mempunyai komitmen tinggi, salah satunya ikut melakukan seleksi dan mengawasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga arah perkembangan ilmu pengetahuan tetap bertujuan untuk kesejahteraan hidup dan demi kemaslakhatan umat manusia.
D. Tugas Seorang Ilmuwan 

Apa yang dikemukakan didepan, bagian penting tugas ilmuwan. Karena itu, kita sepakat ilmu dan kebenaran merupakan satu konditio cine quo non, sehingga pribadi ilmu pada hakekatnya adalah kebenaran juga. Hal ini terkait dengan makna dan proses keteraturan dan kemajuan itu sendiri. Bukankah jagad raya dan dunia pada prinsipnya juga bersumber pada prinsip-prinsip keteraturan.

Karena itu, melalui ketajaman otak dan budi seseorang dapat menjadi pandai (cerdas), namun dengan ilmu yang diperolehnya seseorang setelah lulus menjadi sarjana tak dapat langsung dan menjelma menjadi seorang ilmuwan. Seorang yang baru lulus, menjadi sarjana/scholar/SH misalnya. Di harapkan, dimulai, diawali, menjadi seorang profesional lawyer (aplied profesinal lawyer) kemudian kapan menjadi seorang  “scientist scholar/scientist lawyer” memerlukan proses waktu (pendalaman, penguasaan, pengembangan) ilmu yang dikuasai, misalnya melalui pendidikan training, SII maupun SIII dan seterusnya.

Jika masalah kita kembalikan kepada makna dasar ilmu dalam wujudnya yang mandiri, obyektif, dan mempertahankan kebenaran, maka sifat, pribadi dan karakter seseorang akan “diwarnai” oleh sifat-sifat tersebut. Dialah orang yang dapat disebut ilmuwan/scientist/akademikus, sekarang pakar dalam arti berwatak cendekia, intelektual, intelegensia, dan sebagainya.

Karena itu, menjadi tepat sekali ungkapan Bung Hatta yang pernah menyatakan “...Ilmu terutama saja ditangan sarjana yang berkarakter tak dapat disangsikan lagi. Orang berkarakter tahu menghargai pengetahuan orang lain yang berlainan dengan pendapatnya. Ia berani membela kebenaran yang telah menjadi keyakinananya terhadap siapapun juga. Ia tak segan mempertahankan pendapatnya, sekalipun bertentangan dengan pendapat umum. Tetapi ia juga berani melepaskan suatu keyakinan ilmiah apabila ada suatu waktu logika yang lebih kuat dan kenyataan yang lebih lengkap membuktikan salahnya. Hanya dengan pendirian yang kritis itu ilmu dapat dimajukan. Dalam memelihara dan memejukan ilmu, karakterlah yang utama, bukan kecerdasan...karena karakter ilmu dapat berjalan terus...” (Andi Hakim Nasution, 1988).

Kelompok intelektual harus memiliki sikap penuh dengan kebijaksanaan atau kearifan (prudence and wisdom), atau kata Porf. Dr. Andi Hakim Nasution, intelektual adalah “ orang yang mampu melihat fajar, melihat persoalan-persoalan dengan kepekaan yang amat tajam, sehingga kilauan merah dari problematika kemasyarakatan dapat disimaknya secara amat dini...(Prisma).

Sampai sekarang, dan seterusnya, dan sepertinya sudah ada suatu kesefahaman/ kesepakatan bersama, si satu sisi dibedakan antara ilmuwan / akasemisi, dan pada sisi lain dijumpai kelompok cendikiawan, intelektual, intelegensia.

Pada dua kubu tersebut, yang pasti kedua kelompok tersebut tidak berbeda, mereka adalah kelompok idealis, berbudaya hidup diatas angin, kat Rendra yang mungkin berbeda seorang ilmuwan dan akademikus menitik beratkan pada pendalaman ilmu dan tanggung jawab ilmunya untuk diabdikan kepada masyarakat. Sedangkan seorang intelektual/cendekiawan ada pada kepekaan sosial serta tanggung jawab kepada masyarakat.

Cendikiawan dengan kemampuan dan keluasan cakrawala pemikirannya, diabdikan untuk kesejahteraan masyarakat. Cendikiawan akan selalu resah melihat ketidakadilan, kesewenang-wenangan atau kemelaratan yang melanda masyarakat.

Dengan demikian, dua kelompok tersebut dalam melihat proses pertumbuhan, perkembangan dan kesejahteraan masyarakat mempunyai pandangan yang relatif sama, saling mengisi dan mencintai. Komitmen dan integritasnya tidak dapat diragukan dalam menggelar cita-citanya.

Dua tujuan dwi tunggal yang dicari seorang ilmuan, kata Y. B. Mangunwidjojo, ialah : “tak kurang dari kebenaran dan kepastian, sedangkan tujuan yang hendak dicapainya adalah tak lain dari perbaikan yang benar-benar dari peruntungan manusia.” (kata Soedjatmoko, 1980 : 39). 

Dengan demikian, seringkali seorang ilmuan, atau cendikiawan terkesan sebagai kelompok orang yang tidak dapat menerima kenyataan, lebih-lebih jika kenyataan yang ada bertentangan dengan keyakinan ilmunya. Dia akan selalu mencari dan menyampaikan ide alternatifnya, sehingga kadang-kadang terasing (teraleniasi) dari masyarakatnya, lebih-lebih dalam negara yang sedang berkembang. 

Prof. Dr. Soedjatmoko pernah menyatakan, “Dalam kebanyakan tidak akan ditampilkan profil seorang cendikiawan sebagai seorang pembaharu, sebagai perumusan sasaran baru, tetapi juga sebagai penyebar tidak setuju. Ia sering juga tampil sebagai seorang yang disiksa oleh rasa aleniasinya...” (Gerald Malton, 86). 

Dalam menghadapi tuntutan masyarakat yang berkembang terus dan kadang-kadang “manja” (akibat teknologi), perkembangan ilmu tetap berjalan/berkembang dan tidak dapat dihentikan, kecuali manusia mati atau hancur sendiri. Disinalah para cendikiawan dan ilmuan pada satu tahap tertentu dapat berjumpa untuk saling berkomuniksi mengenai pokok-pokok penelitan mereka masing-masing dan yang kedua kaum cendikiawan yang mempelajari ilmu budaya manusia juga mempelajari konsep-konsep dan sikap-sikap ilmu pasti masa itu. (S. Tasfir, halaman 111).

Dalam era dan dunia yang semakin komplek, transparan, mengglobal dengan ilmu informatika yang semakin tidak terbatas jangkauannya, posisi ilmuan dan cendikiawan semakin penting. Kearifan dan kebijaksanaan harus tetap menjadi ciri kelompok ini, kecongkakan harus dibuang jauh-jauh.

Jika ilmuan dan cendikiawan “Terbawa arus” sebagaimana pernah ditulis oleh Julien Benda, La Trahison des cleros. (penghianatan kaum intelektual, melalui komentar S. Tasrif, menempatkan cendikiawan dan intelektual pada posisi yang curam. Julien Benda melihat, intelektul prancis telah dianggap memprotitusikan ilmu pengetahuannya, semata-mata karena kedudukan politik. 

Lebih lanjut dikatakan “.....moralitas telah dijadikan untergeornet kepada politik dan bukan sebaliknya. Apabila plato dahulu menganut pendapat bahwa “moralitas menentukan politik”, dan Machiavelli muncul dengan tesisnya bahwa moralitas tidak ada hubungannya dengan politik, maka kaum intelektual prancis (diantaranya diwakili oleh Maura SS), muncul dengan tesis bahwa politiklah yang menentukan morolitas itu.....”.(Tasrif, 111). Selanjutnya dikatakan “tugas seorang intelektual bukan untuk mengubah dunia, tetapi tetap setia kepada suatu cita-cita yang perlu dipertahankan demi moralitas manusia....” 

Karena itu, seorang intelektual atau ilmuan harus tetap memiliki tanggung jawab sosial. Tanggung jawab profesional atau moral, terkait dengan landasan epistimologi, antara lain mencangkup : 
1)      Kebenaran; 
2)      Kejujuran; 
3)      Tanpa kepentingan langsung; 
4)      Menyadarkan kepada kekuatan argumentasi; 
5)      Rasional; 
6)      Obyektif; 
7)      Kritis; 
8)      Terbuka; 
9)      Pragmatis; 
10)   Netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatic dalam menafsirkan realitas...”(Rendra 87 : 70).

Seorang ilmuan atau cendikiawan didalam menghadapi masalah-masalah tersebut (pilihan antara moral dan politik), tidak dapat bersikap netral, sehingga sering dan bahkan harus “berani” berlawanan dengan politisi  maupun birokrat. Masuknya ilmu kedunia politik harus tetap dapat mempertahankan identitasnya sebagai ilmuwan (teknokrat).

Dengan demikian, dalam menghadapi sikap politik dari suatu rezim pemerintahan -yang otoriter misalnya- ilmuan/intelektual/teknokrat harus tetap berpegangan kepada komitmen dan ikatan moral, sehingga sikap politik yang diambil adalah sikap politik yang memihak kepada masyarakat.

Menetapkan pilihan pada satu pihak menjadi sulit, namun pada pihak lain menjadi sangat ringan, hal ini tergantung dari karakter dan integritas/ keutuhan pribadi masing-masing ilmuan sendiri. Sejauh mana kadar kesadaran dan rasa kemanusiaan serta “kebeningan”/ kejernihan analisisnya dalam meneropong masalah didepannya, akan ”menentukan“ kepada satu keputusan yang benar atau justru semu.

Ilmu pengetahuan bersifat obyektif, sedangkan politik bersifat subyektif. Antara keduanya dapat saling mempengaruhi ilmu pengetahuan, dalam situasi seperti ini, negara atau pemerintah dapat mencampuri perkembangan ilmu, bahkan dalam negara-negara totaliter, ilmu pengetahuan banyak diarahkan/dikendalikan oleh penguasa.

Situasi dan kondisi tersebut sering mengakibatkan ilmu pengetahuan dipolitiknya (verpolitickte wetenschap), sehingga proses perkembangan dan pembangunan ilmu diawasi,... Bahkan dikuasai dan dipaksa memihak kepada rezim dan “membenarkan” langkah-langkah penguasa.

Dipihak lain, ilmu pengetahuan dapat pula mempengaruhi politik, bukan berarti ilmu pengetahuan mengganti posisi politik. Disini ilmu pengetahuan, dapat mengarahkan politik secara benar, memihak rakyat, santun dan juga beradab.

Bagaimanapun juga, pengetahuan dan politik akan saling membantu, ilmu pengetahuan perlu bantuan negara, agar dapat berkembang baik dan wajar, sebaliknya politikpun perlu jasa baik ilmu pengetahuan, demi keselamatan misi politik yang diemban oleh penguasa.

Tugas tersebut sangat berat, sehingga ilmuwan yang telah masuk dalam pemerintahan, berarti telah melakukan pemihakkan. Pemihakan tersebut harus diartikan memihak kepada kepentingan rakyat, bukan memihak kepada golongan, lebih-lebih untuk kepentingan pribadi penguasa dan kroninya saja. Karena itu, jika jika misalnya ilmuwannya memihak kepada penguasa dengan cara membabi buta. Kalau demikian halnya berarti belum terbentuknya watak atau karakter ilmiah yang utuh dan kuat para ilmuwannya. Atau, para ilmuwan tidak solid dan tidak mempunyai wibawa serta gagal mengemban misinya. Bila dalam suatu negara kondisinya seperti itu, maka sangat memalukan dan memprihatinkan. Diharapkan banyaknya para birokrat yang bergelar prof, DR. Master sama dengan membawa misi ilmu pengetahuan ditengah-tengah komunitasnya/masyarakatnya dan tidak seperti digambarkan oleh Julien Benda.

Demikian pula masuknya ilmuwan dalam kancah politik (DPR misalnya), diharapkan meta morphosa (berubah) menjadi seorang negarawan, pembela rakyat atau secara kongrit tetap terikat dengan asas/prinsip ilmu pengetahuan, antara lain bertumpu kepada kejujuran, kebenaran dan keterbukaan.

Pada tataran praktis, ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh tantangan ini, pertama, ilmuwan bersama-sama dengan kekuatan moral lainnya, seperti; agamawan, seniman, budayawan, harus memberikan kontribusi “penyelamatan bangsa”, disamping aktif menumbuhkan budaya demokrasi dan keterbukaan ketengah masyarakat. Kedua membantu dan mendorong secara aktif agar bangsanya menjadi bangsa yang berwatak dan berkarakter kuat. Ikut secara aktif memecahkan masalah-masalah kebangsaan/kenegaraan dan kemasyarakatan demi kerukunan, kemajuan, saling menghormati sesama anak bangsa dan kemanusiaan dan keempat, ikut menjadi penjaga moral bangsa.

Cendekiawan kata WS Rendra dulu disebut para empu, kedudukan mereka masing-masing didalam masyarakat adalah “Penjaga nilai-nilai rohani raja berumah dikraton dan empu berumah di angin kalau empu ini seluruhnya dibadankan menjadi patih atau teknokrat, akan hilanglah kemampuan mereka untuk dipakai sebagai imbangan rohani oleh raja. Tetapi apbila setengah dibadankan saja, maka mereka akan lebih bisa dirapiakan untuk kepentingan ketangkasan kerja sama, sementara itu mereka masiah mampu memeiliki kewibawaan rohani saya akan kembali ke angin” (Kamus Bahasa Indonesia, 1994 : 371). Kalau asas, harapan, renungan tersebut dapat dipertahankan bahkan dikembangkan, sinyalemen J. Benda dapat dinetralisasikan.

Karena itu, bagi kelompok yang tetap memiliki idealisme tinggi, harus memiliki kesiapan mental baja, serta sadar bahwa untuk membangun kondisi tersebut memerlukan perjuangan yang berat, berliku dan cobaan yang tidak kecil, karena kata CP Snaw ilmuwan harus memaksakan secara disiplin moral. Dengan kuatnya moral, dan etika yang menjadi pilihan, sama dengan berada pada jalur yang benar. Kebenaran bagi dunia pendidikan, merupakan bagian integral dari misinya.

“Dunia membutuhkan orang-orang yang”.....Tidak dapat dibeli, kata-katanya bisa dipercaya, menempatkan karakter diatas kekayaan, memiliki pendapat dan keinginan, berani mengambil resiko untuk mencoba sesuatu yang baru, tidak kehilangan kepribadiannya ditengah kerumunan masa, tidak berkompromi pada hal-hal yang tidak benar, ambisinya tidak terbataspada kepentingan pribadi, tidak melakukan sesuatu karena orang lain juga melakukannya, merupakan teman sejati dalam suka dan duka, tidak malu dan takut untuk mengungkapkan kebenaran, dan berani mengatakan “tidak” walaupun seluruh dunia mengatakan “ya” jika ia yakin bahwa apa yang dikatakannya benar” (Dr. Larry M. Groves).

Dalam dunia yang penuh paradok, sebagaimana digambarkan Dr Larry M Groves, dimana warga masyarakat dilanda penuh “kebingungan” sulit mencari pahlawan/satria. “Satria adalah seorang yang siap aktif ikut dalam beragam kompetisi dalam berbagai bidang baik formal maupun non formal (politik, ekonomi, sosial dan seterusnya) lakukan dengan penuh kejujuran, kalah atau menang diterima dengan penuh keikhlasan dan kebesaran jiwa. Pribadi seperti itulah, pribadi yang diperlukan dalam dunia yang penuh dengan ketidak pastian, kemunafikan atau hipokret”.

Diharapkan, melalui “pengenalan pendidikan filsafat ilmu lebih awal dan diterima/dihayati oleh generasi muda, merupakan percikan warna terang idealismenya dalam meniti masa depannya. Penanaman watak tersebut dalam dirinya sama dengan penanaman akan cinta ilmu sebelum cinta materi”. Langkah tersebut diharapkan , merupakan modal awal dalam ikut serta memberi pencerahan kepada bangsanya, sehingga masyarakat indonesia yang akan datang menjadi lebih cerdas, berbudaya dan diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain didunia.

Kesadaran tersebut akan membawa bangsa indonesia kemasa depan yang  jelas, terukur dan dapat diharapkan, bukan ilusi.

Untuk itu, pimpinan bangsa/pimpinan masyarakat harus menjadi pihak pertama yang bersikap demikian, sifat tersebut sangat dinantikan oleh masyarakat.

Canon Fredric Donaldson menyatakan “tujuh dosa modern adalah politik tanpa prinsip, kesenangan tanpa nurani, kekayaan tanpa kerja, pengetahuan tanpa karakter, kerja tanpa moral, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, dan pemujaan tanpa pengorbanan” (Sinar Harapan, 28 agustus 2007).




BAB IV
BERFIKIR KREATIF

E. Proses menjadi kreatif 

Disarikan dari berbagai sumber beberapa penulis, yang dapat disimpulkan bahwa jantung dan jiwa keterampilan mengarang pada umum ada pada kemampuan berfikir kreatif. Hal ini bukan hanya berlaku bagi para filsuf, sastrawan, penulis, pemikir dan pelajar. Tetapi berlaku juga bagi para negarawan, ekonom, pengacara, hakim, jaksa, serta para spesialis tehnik dan serta warga masyarakat pada umumnya. Artinya siapapun mereka, dari kelompok mana dia, kalau dia kreatif, dapat dikatakan pasti akan berada didepan dibanding dengan mereka-mereka yang tidak/kurang kreatif.

Berfikir kreatif dapat dirumuskan sebagai semua kegiatan mental yang menjelaska persoalan baru atau memberikan pandangan baru terhadap suatu persoalan atau gagasan lama. Pemikiran yang kreatif bukan hanya  menggunakan gagasan-gagasan yang dipelajarinyadari orang lain. Yang bekerja adalah otaknya. Dia dapat menggunakan gagasan-gagasan lama, sebagaimana juga seorang pembangun rumah dapat menggunakan batu bata bekas, tetapi dia merangkainya kedalam susunan baru.

Disamping itu, ada juga berfikir imitatif, “meniru” namun dalam pemikiran tersebut, ditambah/diubah dan dikembangkan atau dimasukkan kreasi-kreasi baru, sesuai dengan gagasannya.

Sebagaimana disinggung didepan, berfikir yang paling mudah diingat, berfikir memori, kemudian berfikir kritisdan berfikir yang “menjanjikan” adalah berfikir kreatif, karena didalamnya ada unsur keterampilan. Sedangkan berfikir kontemplatik, berfikir dengan seluruh kekuatan akal, budi dan jiwanya.

Beberapa contoh dibawah ini, adalah para pemikir kreatif yang dimiliki oleh dunia. Edison yang dapat dikatakan lebih berhasil diantara semua orang-orang yang mendapat sesuatu yang baru, yakni yang telah memegang lebih dari seribu paten, setelah mengadakan percobaan ke 999 kali baru berhasil, yakni dengan membaca dulu semua buku mengenai suatu persoalan, sebelum dia berusaha memecahkannya. Dia, berkata “saya harus mulai dimana buku berhenti”. Dia sedapat-dapatnya selalu menggunakan gagasan-gagasan orang lain dan dia adalah pemikir yang paling kreatif diantara semua pemikir.

Sebagaimana kita ketahui, Shakespeare mengambil teman-temannya dan banyak dari jalan ceritanya dari sumber-sumber lain. Akan tetapi dia akan membuat segala sesuatu yang dipinjamnya itu menjadi muliaatas sentuhan kemukjizatan kejeniusannya. Dia menanamkan kecerdasan otaknya pada setiap halaman yang ditulisnya.

Kita tidak mengetahui dengan jelas bagaimana gagasan-gagasan baru timbul dalam otak. Beberapa ahli ilmu jiwa percaya bahwa gagasan-gagasan baru itu dibentuk oleh kombinasi-kombinasi baru dari sel-sel dalam celebrum, bagian sadar daripada otak. Alangkah baiknya jika kita mempunyai suatu RUMUS !

Helmholtz, sarjana yang hebat itu, ketika mengucapkan pidatonya pada hari ulang tahunnya yang ketujuh puluh, menyebut-nyebut tentang bagaimana gagasan-gagasan timbul pada dirinya. Dia berkata : Oleh karena saya sering kali terpaksa harus bersabar menunggu gagasan timbul dalam pikiran saya, maka sayapun berusaha mempelajari bagaimana caranya gagasan-gagasan itu biasanya timbul. Gagasan-gagasan itu menyelinap dengan diam-diam kedala lentera pikiran-pikiran. Pada mulanya gagasan-gagasan itu bisa tidak dengan jelas oleh pikiran. Gagasan-gagasan itu tercampur aduk dengan ingatan-ingatan.

Kadang-kadang gagasan-gagasan itu timbul sekonyong-konyong dengan begitu saja, seolah-olah gagasan-gagasan itu adalah ilham yang datang dari luar.

Sepanjang pengalaman saya, gagasan-gagasan itu tidak pernah datang pada saya, jika otak saya sedang lelah dan gagasan-gagasan itu jarang datang jika saya sedang bekerja dimeja tulis.

Terlebih dulu saya harus mempelajari masalah saya dari swgenap sudut, saya harus menyusun keterangan-keterangan saya. Kemudian saya harus mengistirahatka otak saya dengan sepenuhnya, sekurang-kurangnya selama satu jam. Sesudah itu jika otak saya sudah segar kembali, gagasan-gagasan itu datang pagi hari, segera sesudah saya bangun, dan kerap kali pula gagasan-gagasan itu timbul ketika saya sedang berjalan-jalan dihutan dileleng gunung dekat rumah saya.

Inilah dia, rumus Helmholtz untuk menciptakan gagasan-gagasan baru, pertama kali isilah fikiran dengan fakta-fakta yang hendak anda pikirkan. Kemudian beristirahatlah atau pergilah tidur, dan gagasan-gagasan itu akan timbul segera setelah otak itu pulih dari lelah.
Ada tiga unsur dalam RUMUS ini. Yang perlu kita ingat baik-baik  :
1.  Otak harus punya keterangan-keterangan dulu.
2. Otak  tidak boleh lelah.
3. Otak tidak boleh dipaksa-paksa. Otak itu harus bekerja dengan bebas untuk menciptakan gagasan-gagasan menurut caranya sendiri.

Schiler mengatakan bahwa gagasan timbul pada dirinya pada hari-hari cerah. Sekali peristiwa dia menulis kepada goethe : alangkah tidak efektifnya kemauaan manusia jika alam tidak membantu kita. Lima minggu lamanya saya bingung menghadapi suatu masalah, tetapi ketika akhirnya cuaca terang, saya selesaikan masalah saya dalam waktu tiga hari.

Bebarapa orang pemikir mendapat ilhamjika mendengar musik. Adalagi yang mendapat ilham jika menikmati pemandangan yang bagus. Sebaliknya Walt Whitman mendapat ilham ketika berjalan-jalan dijalan yang ramai atau ditengah khalayak ramai.

Mungkin sekali banyak diantara orang-orang yang berhasil mendapat hal-hal baru, mendapat ilham dari bunyi gemuruh mesin-mesin. Setiap fikiran mempunyai pendorongnya sendiri-sendiri.

Christiansen berkata bahwa masalah berpikir kreatif ialah bagaimana mengarahkan sepenuh kekuatan pikiran kepada pokok persoalan yang menarik perhatian kita.

Dia berkata bahwa otak itu adalah sebagai sebuah sungai yang mengalir kedalam banyak anak sungai yang terpisah-pisah. Jika salah satu anak sungai itu buntu, anak-anak sungai yang lain menjadi lebih dalam, dan jika semua anak-anak sungai itu, kecuali satu, buntu, maka seluruh kekuatan sungai itu mengalir dengan dahsyatnya melalui saluran yang satu itu. Hal ini berarti bahwa jika kita ingin berfikir dengan sepenuh tenaga dengan otak, maka kita harus memutuskan perhatian kita dari soal-soal yang lain. Itulah keterangannya mengapa sampai ada beberapa pemikir mengasingkan diri selama empat puluh hari ditengah hutan untuk memecahkan masalah-masalahnya.

Itulah pula keterangannya mengapa Royke dan Edison kadang kali pergi tanpa tidur dan hampir tidak makan berhari-hari sambil berusaha menyelesaikan satu pekerjaan yang sukar. Mereka itu memaksa kekuatan otak untuk bekerja sepenuhnya dengan mengalirkannya untuk beberapa waktu melalui satu saluran saja.

Pokok yang perlu diingat ialah bahwa kehidupan seseorang ialah satu kehidupan satu tenaga yang bersifat mental, fisik, dan spiritual, suatu yang tidak dapat kita sebutkan namanya. Jika kita dapat memusatkan tenaga ini kepada suatu masalah jika kita dapat mendaratkan seluruh daya hidup kita kepada satu titik saja, maka fikiran kreatif akan mencapai puncaknya. Keadaan seperti itu jarang kita alami. Jika ada orang yang dapat mencapainya, maka dia kita katakan jenius.

Secara praktis dapat kita katakan bahwa bagi orang-orang yang banyak urusan, pikiran kreatif biasanya tidaklah mungkin bisa muncul ditengah berbagai gangguan yang menyimpangkan pikirannya. Orang tidak dapat memecahkan masalahnya jika telponnya berdering terus dan para pegawai hilirmudik datang kepadanya dengan berbagai kertas, atau para tamu menunggu pula untuk berbicara dengan dia.

Setiap orang yang banyak urusan harus mempunyai ruang study yang tenang, jangan dikantornya tetapi pada suatu tempat dimana dia tidak akan diganggu orang. Kesinilah dia membawa masalah-masalah yang menyulitkannya, rencana-rencana yang harus disusunnya untuk masa depan, semua hal-hal yang memerlukan pemikirkan yang terpusat.

Lebih banyak pemikir-pemikir besar yang terlahir diruang terpencil dari pada didalam istana. Mengapa? Karena diruang tepencil itu tidak ada yang menyimpangkan pikiran, tidak ada gangguan, tidak ada kepentingan lain, kecuali untuk berpikir kreatif.

Kita tidak dapat mengharapkan gagasan-gagasan dari orang yang senang mengumbar nafsunya. Apabila seorang pemikir sedang seorang diri, jika dia telah mematikan desakan-desakan nafsunya, maka pada ketika itulah daya hidupnya mengalirkan tenaganya dengan sepenuhnya untuk menciptakan gagasan-gagasan.
Disini anda melihat salah satu sebab mengapa suatu konfrensi atau parlemen sedikit sekali berhasil memecahkan masalah-masalah. Pemikir bukanlah dilahirkan dari banyak bicara.
Bercakap-cakap atau berpidato tidak menimbulkan dan tidak menggunakan daya kreatif dari otak. Kita tahu bahwa pembicara yang lebih lancar sering biasanya pemikir yang lebih dangkal.
Para jurnalis jarang menjadi pemikir. Mereka hanya berurusan dengan kabar sehari-hari dan pendapat-pendapat yang berlaku pada waktu itu. Mereka sering kali melemparkan pikiran ketengah pasaran, tetapi bukanlah mereka yang melahirkan pikiran-pikiran itu. Negeri yang dipimpin oleh pers, mendapat pimpinan yang kurang baik, dari  satu kegemparan pindah kepda kegemparan yang lain.
Bukanlah salah satu masalahyang terlebih sulit dewasa ini ialah bagaimana menyelamatka kepemimpinan dari tangan pers, parlemen dan politik, bagaimana memupuk kepemimpinan yang terdiri atas pemikir-pemikir yang kreatif? Sampai sekarang belum ada negara yang berpemerintahan sendiri telah berhasil menyelesaikan persoalan itu. Kadang-kadang persoalan itu dapat dipecahkan untuk sementara waktu dengan jalan mengadakan kediktatoran yang bijaksana, tetapi kita belum tahu lagi bagaimana memupuk demokrasi yang dipimpin oleh para pemimpin yang terlebih cakap.
Disamping itu, pemikir-pemikir kreatif lewat kreatifitasnya yang dikembangkan menjadi sosokyang selalu dikenang sepanjang masa oleh masyarakat. Warga masyarakat selalu mengenang hasil pemikirannya, yang telah membantu kehidupannya.
Pikiran kreatif meminta pengorbanan. Mereka yang ingin menghasilkan pikiran-pikiran besar harus berani membayar dengan pengorbanan-pengorbanan yang tidak dapat dinilai dan dibayar dengan uang. Mereka yang hidup untuk bersenang-senang, akan bersenang-senang saja sebaliknya mereka yang hidup untuk menghasilkan pikiran-pikiran akan menghasilkan pikiran-pikiran yang cemerlang pula.
Sebagaimana anda lihat, daya kemauanadalah perlu jika orang betul-betul ingin menghasilkan pikiran-pikiran. Orang harus menahan napsu terhadap banyak hal, jika dia ingin menjadi pemikir yang bebas. Dia menghindarkan kesenangan-kesenangan dan urusan-urusan kemasyarakatan. Dia harus berbuat seperti itu sekurang-kurangnya sampai masa berfikir kreatif itu lalu. Dengan demikian daya hidupnya tumpah dengan sepenuhnya kedalam satu saluran saja dan pikiran-pikiran pun dilahirkan.
Dengan kata-kata dalam bidang teknik, dapat kita sebut otak itu adalah sebuah mesin yang pelik, yakni yang memerlukan syarat-syarat tertentu, jika kita ingin otak itu bekerja dengan sebaik-baiknya. Mesin cetak tidak bisa bekerja diluar dalam angin ribut; dan otak itu tidak bisa bekerja pula jika nafsu selalu mengganggu ketenangannya.
Ada pemikiran yang perasaanya mudah berkobar. Mereka hanya dapat bekerja sebaik-baiknya jika batinnya sedang mau. Dan tidak ada satu carapun yang dikenal dapat mengubah temperamen seseorang, dia harus mengikuti hukum yang berlaku menurut alamnya. Dia harus mengikuti desakan hatinya. Dia harus melepas dengan sepenuh hasrat hatinya untuk menciptakan sesuatu dan janganlah dia mencoba mengendalikan dirinya seperti biasa. Semua ahli musik dan seniman yang besar-besar merasakan desakan-desakan seperti itu dan itu adalah harta (modal) yang tidak ternilai hargannya.
Pikiran-pikiran besar dalam essai-essai Emerson datang kepadanya pada segala macam tempat dan dari segala macam rangsang. Dia bisa terbangun tengah malam untuk menuliskan sebuah aphorisma. Dia tidak bisa berfikir secara berturut-turut secara beraturan . Pikiran-pikirannya datang sepotong-sepotong. Dia menulis pikiran yang datang itu dan kemudian barulah pikiran-pikiran itu disusunnya kedalam suatu essai.
Adapula beberapa pemikir-pemikir yang lain sangat senang menyelesaikan suatu pekerjaan yang timbul dengan sendiri dalam pikirannya. Mereka tidak bisa memikirkan hal-hal yang lain sebelum tugas itu selesai. Misalnya beberapa ahli drama telah menulis seluruh cerita sandiwara dalam satu hari penuh. Semuanya itu adalah karena desakan dalam hati itu.
Otak ialah mesin pikir, tetapi belakangnya terdapat aneka ragam perasaan. Dibelakangnya terdapat tempramen dan watak. Dalam hati otak itu adalah keseluruhan pribadi manusia. Semua yang memperkaya sifat manusia menambah daya kreatif otak, jika otak itu betul-betul diberi kesempatan untuk memusatkan sepenuh kekuatannya kepada pekerjaannya.

Barang kali bahaya terbesar yang dihadapi oleh setiap pemikir ialah kemungkinan ia sudah merasa puas dengan pekerjaan yang kurang baik. Orang-orang yang menjual hasil pikirannya dalam bentuk apapun kepada umum, dan segera mengetahui, misalnya publik telah puas dengan hasil pekerjaan walau kelas dua dan kelas tiga.
Hal ini membahayakan hasil pemikirannya, malah dapat menurunkan taraf dan nilai pekerjaannya berdasarkan tingkat pasaran yang ada. Dia akan menelorkan berlusin-lusin buku yang dangkal isinya dan bukan satu buku saja yang akan tetap bernilai selama beberapa generasi.
Setiap kerja besar, kata orang, ditulis dengan darah penulisnya. Itu adalah benar mengenai semua kerja benar, apakah mengenai mengarang buku ataupun membangun kapal atau pabrik. Orang kita sebut jenius adalah orang yang mencurahkan seluruh hatinya dan isi kepalanya serta jiwanya kedalam karyanya. Jika karyanya selesai terwujudlah dirinya.
Sebagai penutup kami kemukakan sepatah kata lagi daya kreatif yang terbesar didunia ini adalah kasih sayang. Tidak ada ilham yang lebih mulia dapat ditimbulkan dalam jiwa anda, daripada kenangan terhadap ibu/bapak anda, istri/suami anda, anak anda, atau kekasih/sahabat anda. Tidak ada hal lain yang lebih efektif menghidupkan semua daya mental dalam diri anda dan yang dapat memungkinkan anda mencapai kebahagiaan karena mencipta. 

“Daya tarik” Kekuatan berpikir 

Terkait dengan hebatnya “daya tarik” kekuatan berpikir, pikiran ( mungkin dibarengin rasa ikhlas, berarti menyertakan perasaan, emosi, pen ) pada dewasa ini telah disinggung dalam satu tulisan dimajalah Time, terbukti pikiran berperan kuat.

Majalah Time ( 14 mei 2007 ) menempatkan Rhonda Byrne, salah satu dari 100 orang paling berpengaruh lewat  bukunya “ the Secret “.

Buku tersebut mengungkapkan para kreator telah mengamalkan “hukum tarik-menarik” dijagat raya. “hukum tarik-menarik adalah hukum yang paling kuat dan terbesar dan terpasti pada tempat dimana seluruh sistem penciptaan bergantung. Artinya seseorang (pikiran kita) dapat menjadi magnet terbesar dalam mencapai cita-cita.

Indra gunawan mengulasnya secara jitu dalam kompas ( 9 september 2007 ) sebagai berikut, “Tampaknya Rhondea byrne ingin mengungkapkan penemuan rahasia besar yang membuat dirinya yang semula depresif, terpuruk, dapat bangkit kembali untuk percaya diri dan berhasil. Secara mudahnya, penulis menguraikan bahwa Anda adalah magnet yang paling kuat dialam semesta. Dan daya magnetis yang tak terbayangkan itu dipancarkan melalui pikiran-pikiran. Pikiran itu adalah barang hidup yang memiliki frekuensi yang bergetar . Seperti magnet, pikiran itu menarik semua hal yang berfrekuensisama. Jika yang dipancarkan oleh menara suar dalam diri kita terus-menerus pikiran buruk, maka yang tertarik adalah pikiran dan kejadian buruk.

Demikian pula sebaliknya dengan pikiran baik. “ Like Attracts like “, yang serupa saling tarik-menarik. Diyakini, pikiran itu dapat terwujud menjadi materi, kenyataan. Sebab, pikiran adalah jenius energi seperti halnya benda-benda lainnya. Sementara energi sendiri dapat berubah bentuk menjadi benda padat atau materi halus.

Dengan demikian, realita diri kita akan diciptakan oleh pikiran-pikiran. Dalam sehari ada 60.000 pikiran dibenak oleh kita yang dapat saling mendorong, saling membantu, tetapi juga saling bertentangan atau membatalkan. Hukum tarik-menarik bersikap netral, sebab itu menurut penulisnya, untuk kesuksesan hidup yang harus pegang kendali adalah pikiran-pikiran yang bagus, yang positif, yang luhur.

Ada tiga langkah yang perlu ditempuh dalam proses penciptaan mengikuti hukum tarik-menarik. Langkah pertama adalah meminta. Berikanlah tugas kepada alam semesta. Alam semesta akan merespon keinginan-keinginan itu. ( mestakung = alam semesta mendukung ). Syaratnya, anda hanya perlu mengetahui dengan jelas apa yang diinginkan . Jika syarat itu tidak jelas, tidak pokus, dan penuh pertentangan, maka frekuensi yang dikirim menjadi campur aduk dan hukum tarik-menarik menjadi kebingungan dan tidak dapat membantu.

Langkah kedua adalah percaya. Pada saat meminta, kita harus percaya dan tahu bahwa keinginan itu sudah menjadi realitas dialam tak kasatmata. Sebenarnya saat itu seluruh semesta sedang bergerak untuk merealisasikannya dalam realitas kasatmata. Sebab itu kita harus bertindak, berbicara, dan berpikir, seakan-akan kita telah menerimanya sekarang juga. Keragu-raguan dapat membatalkan seluruh proses yang tengah berlangsung.

Langkah terakhir adalah menerima. Setelah meminta dan kemudian percaya sudah memperolehnya, maka yang harus dilakukan adalah menerimanya dengan perasaan baik ( feeling good ). Perasaan dan pikiran harus saling menggenapi dan bergerak sejalan. Perasaan cinta adalah frekuensi tertinggi dan terkuat, karena itu pikiran yang dirasuki cinta kasih akan membentuk kekuatan tak terkalahkan. Hukum tarik-menarik kerap pula disebut sebagai Hukum Cinta.

Dengan tiga langkah tersebut sebenarnya Rhonda Byrne telah bergerak lebih jauh sekedar memberi motivasi, membangun kekuatan pikiran, dan beranjak masuk kedua spiritualitas. Alam semesta baginya adalah yang responsif, berperasaan, ramah, dan berkelimpahan.

Pertanyaan : apa saja yang dapat diperbuat dengan Hukum Tarik-Menarik? Lewat tiga langkah penciptaan dan proses penuh daya dari rasa bersyukur, kekuatan visualisasi, dan daya tindakan, hukum ini dapat diterapkan dan merambah ke berbagai wilayah kehidupan.
Dalam keadaan begini saya jadi ingat akan ajaran yang menganjurkan kebersatuan antara laku “ meditasi “ dan aksi “bekerja”, antara “berseru” dan “berbuat”. Tak perlu ada pemilihan dan pemisahan antara keduanya.

Mungkin inilah Rahasia Alam dari Ora et Labora yang dilakukan tidak secara sendiri-sendiri, melainkan secara serentak.
Sebenarnya apa yang diutarakan oleh Rhonda Byrne bukan hal yang baru. Ia berbicara mengenai power of the mind ( kekuatan mental ) dan mind offer matter ( pikiran mengatasi materi ) seperti yang tertuang dalam isi, ribuan buku sebelumnya. Mungkin kelebihan The secret adalah dalam hal menyederhanakan soal-soal yang rumit menjadi bersahaja hingga mudah dicerna dan dipahami kaum awam.

Rhonda sendiri mengakui bahwa ajaran hukum tarik-menarik itu sudah ada sejak 3.000 SM, namun yang menguasai dan mengamalkannya hanya segelintir orang. Ia ingin membuat banyak orang bahagia, dan karena itu menyebarkannya secara luas kepada massa lewat buku dan DVD tanpa presentasi “ilmiah”.

Dalam agama islam, ada keyakinan bahwa tidak ada keinginan, niat, gerakan, kejadian, problem yang tak diketahui oleh tuhan. Karenanya, Tuhan, tidak saja “ ulur tangan” malah “campur tangan” dalam setiap masalah yang ada. Keyakinan adalah modal utama. Karena itu, dalam masalah keyakinan tak boleh ragu dan bimbang, karena memiliki keyakinan yang kuat ( haqul yakin ).

Hadis qudsi berbunyi “ aku sesuai dengan prasangka hambaku kepadaku, maka ia bebas berprasangka Kepada-Ku sesuai yang ia mau”.

Sedangkan masalah-masalah keduniaan, kita wajib bekerja secara profesional, tidak main-main tidak ceroboh, niat baik, serius, yakin dan berdoa atau mohon petunjuknya.

Karena semua ini, bagian dari sunnatullah ( hukum sebab akibat/hukum karma, hukum vibrasi), Analisis Rhonda Byrne dalam buku “ the secret” menganalisis dan menjelaskan adanya kekuatan tak terbantahkan dalam diri seseorang. Asal kekuatan pemikir kita menjadi keyakinan kokoh kita.

Inti “the secret” adalah hukum alam ( misteri law and universal law, law of attraction/ hukum kesemestaan ). Titik tarik menarik secara abadi tersebut harus mendapat perhatian terus oleh manusia atau mungkin masuk ilmu titen ala mbah Maridjan ( juru kunci gunung merapi ). Kekuatan tersebut dianalisis secara teologis.

“ Tidak mungkin kumpulan batu bata tiba-tiba menjadi sebuah gedung, tidak mungkin kumpulan baja tiba-tiba menjadi menara eiffel,begitu pun juga kehidupan ini, pasti ada sang kreator dibalik kesinambungan alam yang sangat sempurna. Tiada kita mampu melihat sedikit ketidak kesempurnaan dalam kehidupan ini. Fakta inilah yang membungkam pikiran kuno (sempit) bahwa kehidupan ini ada, karena kebetulan ini bukti bahwa Tuhan selalu hadir dalam kehidupan kita (Taufani S. Evandri, 2007).

Kalau kita masuk kedalam dunia pemikiran kontemplatik ( to think very carefully a about something for a long time, Macmillian English, 2006 :298 ). Pasti sama ada perenungan, apa yang terurai didepan, terdapat benang merah dengan pemikiran modern ( gabungan IQ, EQ, SQ, dan RQ, sebagaimana telah disinggung didepan ).

Terkait dengan kekuatan pikiran yang teruraidiatas, menurut Erbe Sentanu “jangan meremehkan kekuatan hati/perasaan, karena kenyataan kekuatannya 5000 x kekuatan pikiran. Selama ini para motivator selalu mengajarkan untuk berpikir positif, ternyata berperasaan positif juga penting untuk menggapai apa yang kita impikan, yakni dengan perasaan ikhlas” (Kompas, 28 september 2007).

Tuhan melalui ajaran agama telah mengajarkan kepada umatnya untuk membangun rasa ikhlas dalam pribadi kita, sehinggan apapun yang kita jalankan dengan penuh ketelitian, kehati-hatian dan kepantasan dengan hasil tidak sesuai dengan harapan kita, dapat diterima dengan penuh keikhlasan. Sayangnya, masih ada sebagian orang kurang tepat atau malah keliru, menafsirkan ikhlas dengan menggolongkan/memasukkan sebagian sikap yang lemah.

Padahal, didalam ikhlas terdapat sifat-sifat ilahiah, sifat-sifat yang memiliki Tuhan. Diantaranya, bersyukur, sabar, fokus, cinta, damai dan bahagia. Karena itu, ikhlas justru sangat powerful untuk diterapkan disemua bidang kehidupan.

Kondisi ikhlas bisa membawa manusia menjadi sangat kuat, cerdas, dan bijaksana. Karena dengan hati yang iklhlas, kita bisa berfikir dengan jernih, mampu menjalani hidup dengan lebih efektif dan produktif untuk mencapai tujuan. Bahkan hubungan dengan siapa pun didasari dengan penuh keikhlasan, akan terjalin dengan menyenangkan.

“Jika anda saja selalu berhasil merasa bahagia dan ikhlas dihati, akan memiliki hidup yang penuh dengan sukses kebahagiaan lahir batin yang sempurna”, Kata Erbe Sentanu kepada ratusan hadirin.

Sebagaimana diketahui ikhlas dalam agama islam merupakan mahkota dari semua kepasrahan iman, “Hebatnya” kekuatan perasaan dan pikiran sama-sama diakui bersama. Bergabungnya dua kekuatan tersebut, berarti dalam menghadapi masalah hidup (life problem) dapat diselesaikan dengan positif/hasilnya positif. Meditasi, semedi (tafakur) mampu membangkitkan pikiran positif, tak sempat meditasi, pejamkan mata seperlunya.

Masalah kesehatan, misalnya, sikap mendasar yang diambil harus positif. “bila kita berfikir, kita sehat, alam akan bereaksi dan membuat sehat”. Sebaliknya kita berkata “saya tidak akan sakit (ada unsur negatifnya), alam tidak akan menangkap pesan itu dan malah membuat kita sakit”, demikian salah satu tulisan Rhonda Byrne. Karena itu mari kita budayakan membiasakan berpikir positif (langsung, kongkrit, tidak berputar-putar), juga perasaan positif.





BAB V
DUA PENDEKATAN DALAM FILSAFAT ILMU


Filsafat ilmu murni
Filsafat ilmu murni merupakan kajian filsafat konvensional yang sudah biasa dilakukan, sehingga tidak perlu dirinci lebih jauh. Hal ini berbeda dengan filsafat ilmu terapan, yang disebabkan sifatnya yang khusus, membutuhkan pembahasan yang lebih terinci.

Masyarakat ilmuan mempunyai seperangkat pengetahuan normatif mengenai dunia keilmuan. Pengetahuan normatif tersebut pada pokoknya mencangkup empat bidang dasar. Pertama, pengetahuan yang berupa polapikir hakikat keilmuan. Kedua, pengetahuan mengenai model kerja praktek ilmiah yang diturunkan dari pola pikir. Ketiga, Pengetahuan mengenaiberbagai sarana ilmiah yang menunjang praktek ilmiah. Keempat, serangkaian nilai yang bersifat etis yang terkait dengan pola pikir dan model kerja serta hal-hal lain yang bersifat khusus, seperti umpamanya kode etik propesi.


Ilmu, berbeda dengan pengetahuan lainnya seperti filsafat, agama dan seni. Ilmu “mengembangkan pengetahuan normatif mengenal model kerja dan sarana ilmiah yang diterapkan dengan penuh disiplin”, yang pada gilirannya berhasil mengembangkan sekitar 700 disiplin keilmuwan yang kita kenal seperti sekarang ini (1984). Kemajuan yang pesat menyebabkan timbulnya beberapa masalah. Pertama, berkembangnya pengetahuan normatif yang secara spesifik terkait dengan bidang kajian keilmuan tertentu, umpamannya, pola pikir mengenal perbedaan hakikat ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Hal ini juga bahkan berkembang pada model kerja seperti perbedaan antara metode penelitian kuantitatif dan kualitataif dalam ilmu-ilmu sosial.

Kedua, berkembangnya pengetahuan ilmiah yang sangat bersifat spesialis dan menimbulkan kecenderungan esoterisme. Kecenderungan menimbulkan masalah dalam komunikasi antar ilmuwan yang mempunyai keahlian yang berbeda, sehingga proses transfer pendidikan kepada orang lainpun berbeda-beda. Bidang statistika umpamannya, dalam proses pendidikan dan bahkan kegiatan penelitian, seakan terlepas dari konteks hakekat pengetahuan ilmiah secara keseluruhan.

Deskripsi filsafat ilmu terapan terkait dengan pengetahuan normatif dalam dunia keilmuan dalam rangka meningkatkan pemahaman masyarakat ilmiah tentang hakekat keilmuan. Kajiannya mencakup empat bidang dasar yakni pola pikir hakikat keilmuan, model kerja praktek ilmiah, sarana keilmuan dan nilai etis yang terkait dengan ilmu tersebut.

Keempat bidang tersebut merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Filsafat ilmu terapan menitik beratkan kepada pemahaman yang menyeluruh tentang hakekat dan keterkaitan antara keempat bidang pengetahuan normatif tersebut. Filsafat ilmu terapan mengarahkan pandangannya kepada masalah praktis dalam dunia masyarakat ilmiah.



Filsafat Ilmu Terapan
 Merupakan deskripsi
Mengenai pengetahuan
Normatif dunia keilmuan
Untuk meningkatkan
Pemahaman masyarakat
Ilmu tentang hakikat keilmuan


Filsafat Terapan

Dalam upaya menjelaskan bidang kajian tersebut diatas, filsafat ilmu terapan merujuk pada pokok pikiran kefilsafatan yang melatar belakangi dasar pengetahuan normatif dunia ilmu. Disinilah dunia ilmu bertemu dengan dunia filsafat. Jadi filsafat ilmu terapan tidak bertitik tolak dari dunia filsafat, melainkan dunia ilmu.

Filsafat ilmu terapan berorientasi kepada status quo pengetahuan normatif yang ada dalam rangka memahami pengetahuan ilmiah yang telah disusunnya. Sebaliknya, filsafat ilmu murni yang melakukan telaahan refleksi kritis dan eksploratif terhadap materi kefilsafatan, membuka cakrawala terhadap kemungkinan berkembangnya pengetahuan normatif yang baru. Jelaslah kiranya bahwa kedua pendekatan ini saling dan sama-sama diperlukan.

Untuk melangkah maju, dunia ilmu memerlukan filsafat ilmu murni, sedangkan untuk menguasai pengetahuan yang ada, dunia ilmu memerlukan filsafat ilmu terapan. Disamping itu, filsafat ilmu murni merupakan rujukan bagi refleksi kefilsafatan yang dilakukan filsafat ilmu terapan.

Pada hakekatnya filsafat yang bertumpu pada dunia keilmuan serta pandangannya yang bersifat praktis, maka filsafat ilmu terapan mungkin cocok bagi pendidikan keilmuan. Dalam hal ini bobot materi kefilsafatan dapat disesuaikan dengan tingkat pendidikan. Semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin sedikit pula bobot kefilsafatannya.

Untuk itulah, dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) III, yang berlangsung pada tanggal 15-19 September 1981 di Jakarta, timbul saran agar filsafat ilmu terapan diberikan pada semua tingkat pendidikan. Hal ini diterima sebagai salah satu kesimpulan kongres. Kesimpulan tersebut menyatakan bahwa “agar dipertimbangkan pemberian mata pelajaran filsafat ilmu pada semua tingkat pendidikan untuk meningkatkan moral keilmuan seiring dengan peningkatan kemampuan penalaran ilmiah” (Filsafat Ilmu, Dept P & K, 1983).

Sebagaimana diketahui, hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan sangat erat, banyak persamaannya, perbedaannya hannya pada obyeknya saja.
Persamaan :  
1. Keduannya mencari hakikat kebenaran sedalam-dalamnya sampai ke radix (akar2nya);  
2. Kedua-duanya membangun hubungan kausalitas yang logis dalam menjelaskan beragam fakta;  
3. Kedua-duanya berlandaskan metode/sistem tertentu;  
4. Kedua-duanya memberi penjelasan atas fakta alami kebenaran yang diharapkan oleh manusia.

Adapun perbedaanya terletak pada objek materinya, filsafat universal, ilmu pengetahuan bersifat khusus sesuai dengan disiplinnya. Dari sudut pandang (objek Formal), filsafat mencari makna umum, meluas dan mendalam, ilmu bersifat fragmatis sesuai dengan bidangnya.




BAB VI
ILMU DAN TEKNOLOGI


Pada tahun lima puluhan, ilmu pengetahuan belum membedakan secara tegas antara ilmu dan teknologi. Ini misalnya terungkap dari penamaan beberapa lembaga pendidikan yang ada, waktu itu tidak dibedakan antara STM (Sekolah Teknik Menengah) dan FT (Fakultas Teknik).

Dalam proses perkembangan lebih lanjut, STM tidak lagi memakai /menggunakan istilah “Sekolah Teknik Menengah”, tetapi menjadi Sekolah Teknologi Menengah. Perubahan tersebut menunjukan adanya perbedaan mendasar antara istilah ilmu dan teknologi serta teknik itu sendiri.

Adanya pemakaian istilah ilmu dan teknologi (iptek) tersebut, tidak lepas dari sifat dasar manusia disamping homo sapient, juga homo vaber (makhluk pembuat alat/pemakai alat/teknologi).

Sebagaimana diketahui, ilmu antara lain diartikan “pengetahuan yang disusun secara konsisten menurut metode tertentu yang digunakan untuk menerangkan gejala pada bidang pengetahuan”. Sedangkan teknik diartikan “pengetahuan (kepandaian) membuat sesuatu terkait dengan industri atau seni. Adapun teknologi adalah kemampuan teknik yang berdasarkan ilmu eksakta yang berdasarkan proses teknik”. Teknologi disebut pula “the termonology of are particular subject the science of the aplication of knowledge or pratical purpose”. (Webster’s Dict, 1348).

Dengan demikian, ilmu adalah proses berfikir mendalam untuk memahami dan mencoba memecahkan masalah-masalah alam dan kenyataan sosial yang ada. Hasil ilmu diterapkan / diaplikasikan pada teknologi yang ada. Karena itu teknologi merupakan pengembangan lebih lanjut dari ilmu, yang berupa perangkat keras maupun perangkat lunak. Sebagaimana disinggung diatas, ilmu sebagai proses dan produk tidak dapat dipisahkan. Konsep ilmu merupakan abstraksi berdasarkan pada sifat-sifat objek ilmu yang diperoleh berdasarkan pengalaman. Dengan demikian, pengertian yang diperoleh melalui ilmu merupakan gambaran dari suatu yang lebih mendasar dari sasaran yang menjadi objek pemikiran atau penelitian yang dilakukan.

Namun dalam prakek, akibat luasnya ilmu dan juga keterbatasan alat yang ada, sering perolehan ilmu yang kita harapkan terbatas pada aplikasinya, atau terbatas pada teknologi yang dapat mengimbangi dengan penemuan ilmu tersebut. Akibatnya, manfaat ilmu belum dapat maksimal, ketika ilmu belum diperbaharui. 

“Ilmu dan pengetahuan merupakan suatu realitas yang komplementer. Pemahaman yang lebih lengkap tentang hakikat sesuatu realitas bisa dicapai antara ilmu dan pengetahuan. Jaringan struktur yang sangat luas yang dilalui proses pembangunan teori melalui model dan lambang-lambang yang merupakan abstraksi dan sekaligus penyederhanaan realitas yang hendak dijelaskan oleh teori tersebut, membuat ilmu menjadi terbatas dan sempit tempat cakupannya”. 

Jika ilmu dikembangkan untuk kepentingan masyarakat maka didalam proses “interaksi” dengan masyarakat yang bersangkutan, berbagai alternatif dapat muncul, baik yang terkait dengan pilihan bahan, piranti, prosedur, maupun tujuan agar upaya pencarian ilmu dapat berhasil dengan maksimal.

Keragaman dan pengembangan pengetahuan yang langsung di aplikasikan dan di peruntukan demi kepentingan masyarakat, merupakan tahap lanjut dari pengembangan ilmu dalam bentuk teknologi. Dengan demikian, aplikasi ilmu yang berupa teknologi, bentuk atau model teknologinya selalu disesuaikan dengan kepentingan dan kebutuhan yang ada.

Memperhatikan sifat ilmu yang bersifat netral, pada tahapan penerapannya (teknologinya), tergantung pada tujuan yang ditetapkan lebih dahulu. Jika diabdikan demi kemanusiaan, nilai teknologi yang ada menjadi sangat tinggi, demikian pula sebaliknya jika teknologi yang diciptakan dapat mengakibatkan dan menyengsarakan masyarakat (mislanya bom atom) sangat memprihatinkan.

Jika kembali kepada pendapat Francis Bacon, bahwa ilmu adalah kekuasaan, maka teknologi merupakan alat kekuasaan, sehingga dengan dikuasainya alat kekuasaan oleh manusia, langkah dan usaha manusia dalam mengejar kepentingan dan kebutuhannya menjadi lebih mudah dan cepat.

Sifat manusia dan tuntutan manusia terus bertambah dan juga tidak merasa puas, perkembangan teknologi akan selalu mengalami inovasi terus-menerus. Dalam hal ini inovasi tidak selalu harus merubah substansi dan materi ilmu itu sendiri.

Dalam berbagai hal, sering dijumpai penggunaan teknologi yang kurang hati-hati, dapat mengakibatkan, tidak saja merusak lingkungan juga merusak budaya, peradaban, serta merubah kultur suatu masyarakat.

Masyarakat dunia ketiga akan menjadi sasaran yang paling rentan menghadapi serbuan iptek serta kultur dari negara-negara yang menguasai ilmu lebih dahulu yang ada.Karena itu perlu ditempuh suatu kebijakan nasional yang komprehensif dalam menghadapi desakan tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut , harus dilakukan/diadakan seleksi teknologi. Salah satunya lewat perundang-undangan.

Tanpa adanya pengawasan yang memadai, penyalahgunaan hasil ilmu dan teknologi kemungkinan dapat terjadi. Kalau hal ini sampai terjadi, dapat mengakibatkan penyesalan yang berkepanjangan dan berdampak negatif pada mental bangsa. Dari sudut pandang ini, harus dihindari modernisasi (modern akar katanya metode dan mode) yang mengarah atau identik dengan westernisasi. Antara keduannya ada titik singgung dan ada titik pisah, kearifan dan kebijakan sangat dibutuhkan untuk menghayati masalah tersebut secara lebih jernih.


BAB VII
ETIKA ILMU

Etika (Yunani, Etos = cara bertindak, kebiasaan, adat, tempat tinggal). Hampir sama dengan moral (Yunani : Mos = adat, cara bertindak, tempat tinggal). Dengan demikian, antara keduanya mempunyai tujuan yang sama. “Etika dipakai menuju dan menunjuk filsafat moral menjelaskan fakta moral tentang nilai dan norma moral, perintah, (tindakan, kebijakan, dan suara hati”. (Kanter, 2001 : 2).

Disamping samping istilah etika  (etics) ada istilah etiket (etiquette) “aturan kesopanan atau tatakrama bagi perilaku manusia dalam pergaulan masyarakat/diantara anggota-anggota suatu profesi etiket berkenaan dengan cara bersopan santun dalam pergaulan”. (2001 : 2).

Dalam mengembangkan ilmu, siapapun dia harus mengenal etika keilmuan yang mampu mengantarkan kita melakukan kontemplasi secara baik mengenai hakekat, proses pembentukan, maupun memproduksi ilmu. Dalam pengembangan ilmu, aspek moralitas dalam memperoleh dan mendayagunakan ilmu menjadi penting.

Sebagaimana diketahui bersama, dari fenomena global, perkembangan dunia serta perubahan sosial yang cepat akan terus berlangsung. Hal ini merupakan pendorong kuat, adanya penemuan perkembangan pengetahuan baru. Setiap  bangsa dan negara baik sendiri-sendiri maupun secara kolektif (transnasional) berusaha bersama. Sadar bahwa keunggulan komparasi dan keunggulan kompetisi negara hanya dapat dicapai dengan bantuan/penguasaan pengetahuan (knowledge based development), baik pengolahan alam (natural science) maupun pengetahuan sosial (social science).

Karena itu ilmu (science) bagian dari cabang pengetahuan (knowledge) berbasis logika tentang benar dan salah akan berkembang terus. Cabang pengetahuan lain mencakup pengetahuan tentang baik dan buruk (etika) serta pengetahuan tentang indah dan buruk (estetika) akan saling terkait. Dengan demikian etika keilmuan merupakan kombinasi antara dua pengetahuan yaitu ilmu yang berbasis pada logika dan etika atau moralitas yang membahas baik atau buruk. Akan berjalan terus sekaligus diiringi dengan keindahan.

Kaitan ilmu dan keilmuan, kebebasan akademik serta kultur akademik dengan HAM tidak dapat dihindari dan bahkan memperoleh pengakuan universal. Mengingat ilmu pada dasarnya dan pada akhirnya memang harus diekspresikan dan diinformasikan untuk kemaslahatan (kebahagiaan) manusia. Adanya kebebasan untuk berekspresi atau menyatakan pendapat (the freedom of expression) yang dimuat dalam pasal 19 Deklarasi HAM PBB 10 Desember 1948 serta dijelaskan dalam International Covenant on Civil and Political Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (SIPOL) tahu 1966, mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan memberi informasi/keterangan dan segala macam gagasan tanpa ada pembatasan-pembatasan, baik secara lisan maupun tulisan tercetak dalam bentuk seni atau sarana lain menurut pilihannya, perlu dihayati benar.

Dengan demikian, perkembangan ilmu dan etika keilmuan dalam negara demokrasi diharapkan mampu mewujudkan keberadaan” self confident society” betul-betul terwujud. Dengan demikian, dalam negara demokrasi, diharapkan berkembang asosiasi-asosiasi dalam masyarakat madani yang dimanifesasikan dalam asosiasi masyarakat ilmiah dan pusat-pusat kajian ilmu dapat berperan, tidak hanya menjaga standarisasi kualitas ilmu, tetapi juga sebagai kompetitor bagi lembaga-lembaga pemerintah dalam melaksanakan pembangunan dibidangnya masing-masing, baik secara konseptual maupun praktis. Kondisi tersebut dikembangkan dan dimajukan dalam rangka membangun “academic freedom” sebagai manifestasi dari “the right to freedom association”.

Sesuai dengan hakekat ilmu yang berbasis logika untuk menyatakan benar atau salah, adanya tata krama (euphemisme) ilmu dalam kerangka berburu kebenaran (truth) dan menentang segala bentuk kebenaran (justification) atas kesalahan. Karena itu, perlu dibangun/dikembangkan berfikir benar, sehingga berfikir dan bertindak salah (false in thinking pada tataran aplikasinya dapat dikurangi. Inilah yang dinamakan kejujuran ilmiah (academic, honesy). Karena itu, seorang ilmuan yang profesional misalnya dan bekerja pada suatu korporasi (organic intellectual) dan bukan sebagai ilmuan murni (traditional intellectual), kejujuran akademik tetap terjaga. Seorang ilmuan sejati harus siap berdiri diantara kesepian (loneliness) dan keberpihakan (alignment).

Selanjutnya digambarkan bahwa ilmuan merupakan sosok yang tidak memiliki kantor untuk berlindung atau teritori untuk melakukan konsolidasi. Sebagaimana digambarkan oleh WS Rendra yang menyatakan dia berumah diawan/diangin.

Dalam kehidupan modern tidak lagi dipandang semata-mata hidup dimenara gading (ivory tower) sehingga hanya bertugas semata-mata untuk pengembangan/memperluas ilmu pengetahuan (academic advancement) atau yang sering di sebut “closed literature scientist”, tetapi harus berperan pula sebagai “agent of social change”.

Kompleksitas ilmu dan keilmuan tidak hanya bersentuhan dengan lembaga-lembaga pendidikan tinggi (institute of higher education) dengan sifat otomoni
atau independensinya, masyarakat akademis (academic community), kebebasan akademik (academic freedom) tetapi juga bersentuhan dengan budaya akademik (academic culture).
Masalah keilmuan dengan segala kompleksitasnya akan bersentuhan secara langsung dan tidak langsung dengan bangunan yang lebih besar yaitu elemen-elemen nilai-nilai dasar (core values), atau indeks demokrasi (indects of democracy).

Ketika keilmuan tidak dapat di   lepaskan dari hakekat ilmu sendiri (lat, scientia=knowledge) yang pada  dasarnya merupakan bangunan teroganisir tentang pengetahuan (organized body of knowledge) yang seharusnya mencangkup pula prilaku dan metode yang membentuk ilmu pengetahuan (attitudes and methods through which this body of knowledge is formet).

Pengalaman diberbagai negara dengan sistem politik pemerintahan otoriter membuktikan bahwa perkembangan ilmu dan keilmuan tidak mungkin terbentuk dan tumbuh dengan baik dalam sistem politik otoriter dimana kebebasan akademik (academic freedem) ditekan, dan kultur akademik yang mendambakan kebenaran terancam, semua diatur dan dilaksanakan pemerintah.

Dalam proses kemajuan berbangsa diera globalisasi, serta perkembangan IPTEK, propesi berkembang pesat. Propesi (yun; professues dalam arti pekerjaan yang terkait dengan sumpah), menuntut setiap pekerjaan atau tugas yang diemban harus dilandasi denga sumpah yang suci.

Dari sudut pandang tersebut, profesional yang diperoleh dengan pendidikan pormal, didalam menjalankam tugas profesionalnya harus memperhatikan juga aspek moral. Untuk terciptanya tujuan tersebut, sebagaimana diketahui setiap profesi diawali dengan sumpah.
Sebagai mana diketahui, kode etik tertua diciptakan oleh Hippocretes (filsuf yunani pada abad V SM). Sekarang dikenal sebagai sumpah Hippocratus Kedokteran.

Etika profesi mempunyai tujuan sebagai penyuluhan prilaku baik manusia, juga diperhatikan segi-segi etika dalam menghadapi perkembangan IPTEK yang merambah segi-segi kehidupan. Disamping mengembangkan wawasan para profesional didalam mengambil keputusan pendapat yang ada. (Irmayanti, 97 dst, 2002).


BAB VIII
APA DAN SIAPA PARA JENIUS

Jenius (genius, some one who is much more intelligent or skill full other people, a very high level of skill or ability). (Mac Millan English, 2006, 591). 

Dari makna tersebut, penulis mengutip dari sebuah buku karangan Michael J. Gelb, yang berjudul “menjadi jenius seperti leonardo da vinci”. Dari buku tersebut menempatkan Leonardo Da Vini Jenius no 1. Penulis mengutip sebagian kecil yang mungkin berguna untuk anak bangsa indonesia.

Dalam buku the book of genius, Tony Buzam dan Raymond Keene, yang telah diterjemahkan dan diterbitkan PT. Gramedia, 2001, untuk pertama kalinya, peringkat jenius-jenius terbesar dalam sejarah peradapan disusun. Sambil menilai tokoh-tokohnya yang ada, berbagai kategori, utamanya aspek “orisinalitas”, “dominasi dalam bidang yang digeluti”, “universalitas visi” dan “kekuatan dan energi ” yang dimiliki disajikanlah daftar “sepuluh jenius terbaik”, yaitu :

Peringkat
Nama Tokoh
Kategori Pemeringkatan
10
Albert Einstein
  • Orisionalitas
9
Phidias (arsitek Athena)
  • Kekuatan dan Energi
8
Alexander Yang Agung
  • Universitalitas visi
7
Thomas Jefferson
  • Dominasi dalam bidangnya
6
Sir Isaac Newton
  • Digeluti
5
Michelangego

4
Johann Wolfgang von Goethe

3
Para Pembangun Piramida Basar

2
William Shakerspeare



Jenius terbesar sepanjang zaman, menurut Buzam dan Keene, adalah Leonardo da Vinci. Dari pendekatan, pengamatan praktis, Leonardo telah teruji secara empirik. Dengan mengetahui unsur-unsur pokok kejeniusan Leonardo, dapat memperkaya kehidupan kita.

Da Vinci mempunyai tujuh prinsip yang menghantarkan kepada prestasi puncaknya. Prinsip-prinsip tersebut untuk diketahui, sekaligus bahan renungan, yang secara naluriah kata pengarang kita bisa merasakan. Prinsip tersebut diambil melalui studi intensif tentang diri si jenius tersebut, terutama dari rangkaian prestasinya.
Ketujuh prinsip Da Vinci antara lain :  

1. Curiosita, yaitu pendekatan berupa keingin tahuan yang tidak terpuaskan akan kehidupan, dan upaya pencarian yang tidak kenal lelah untuk belajar tanpa henti; 
2. Diomostrazione, yaitu niat teguh untuk menguji pengetahuan melalui pengalaman, ketekunan dan kesediaan untuk belajar dari kesalahan; 
3. Sensazione, yaitu penajaman indra secara terus-menerus terutama indra penglihatan sebagai sarana untuk menghidupkan pengalaman; 
4. Sfumato, (secara harfiah berarti hilang tak berbekas atau menjadi tak pasti), kesediaan untuk menerima ambigiutas, paradoks dan ketidak pastian; 
5. Arte atau scienza, yaitu pengembangan keseimbangan antara ilmu dan seni, logika dan imajinasi. Pemikiran “otak secara menyeluruh” (whole brian thinking); 
6. Corporalita, yaitu pemupukan keanggungan, keterampilan dua tangan, kebugaran dan sikap tubuh yang benar; 
7. Connessione, yaitu pengakuaan dan penghargaan terhadap keterkaitan semua hal dan fenomena, pemikiran sistemik. Jika diperhatikan, prinsip pertama, curiosta, usaha untuk terus menerus belajar, menduduki urutan pertama, menunjukkan kepada kita bahwa belajar atau keinginan untuk mengetahui masalah secara utuh menjadi faktor utama mengenal alam cita-cita (mengembangkan daya mau dan daya tahu bagi kita semua, terutama pada generasi muda bangsa).

Seterusnya didalam buku tersebut disusun pula rangkaian ilustrasi dari curiosita, kita berminat pada pemikiran bebas dan membebaskan pikiran kita dari kebiasaan-kebiasaan dan pra anggapan-pra anggapan yang membatasi, kita berada pada jalur menuju prinsip kedua, dimostrazione. Dalam upayanya mencari kebenaran, Da vinci selalu mempertanyakan kebijaksanaan konversional. Ia menggunakan kata demostrazione untuk mengungkapkan pentingnya belajar sendiri melalui pengalaman praktis.

Ambillah jeda sejenak, dan kenanglah saat-saat ditahun lalu, ketika anda berada didalam situasi yang paling bersemangat. Kemungkinan adalah panca indra anda menjadi amat tajam. Prinsio kita ketiga, sensazione, memusatkan perhatian untuk mempertajam panca indra, secara sadar. Leonardo berpendapat bahwa mempertajam panca indra merupakan kunci menuju pengalaman yang memperkaya.

Ketika kita mempertajam panca indra, menjajaki kedalaman pengalaman, dan membangunkan kekuatan. Contoh anak kecil ketika mereka menanyakan sesuatu, kita akan menjumpai ketidak pastian dan ambiguitas yang semakin meningkat, kita harus sabar dan “tlaten” mengikuti alur emosinya dan tidak dibenarkan untuk dipotong.

“daya tahan terhadap kebingungan” merupakan ciri yang paling jelas, untuk orang yang sangat kreatif, dan barang kali leonardo memiliki lebih banyak ciri ini ketimbang orang lain yang pernah hidup. Prinsip nomor empat, sfumato membimbing kita untuk menjadi akrab dengan yang takkenal, untuk lebih bersahabat dengan paradok.

Agar keseimbangan dan kreativitas muncul dari ketidak pastian dibutuhkan prinsip nomor lima, arte atau scienza atau apa yang kini kita sebut sebagai berfikir secara menyeluruh. Namun Da Vinci berpendapat bahwa keseimbangan itu lebih dari sekedar mental. Ia meneladankan dan menerapkan pentingnya prinsip nomor enam, corporalit, keseimbangan tubuh dan pikiran. Dan bila kita menghargai pola, relasi, kineksitas, dan sistem, serta kita berusaha memahami bagaimana impian, sasaran, nilai, dan hasrat-hasrat kita yang paling tinggi dapat diintegrasikan kedalam kehidupan sehari-hari, berarti kita sudah menerapkan prinsip nomor tujuh, connessione-, connessione menyatukan segala sesuatunya bersama-sama.

Melihat berat dan rumitnya predikat sebagai jenius, paling tidak kita telah mengetahui bagaimana sosok seorang jenius yang pernah ada didunia. Bagi kita, setelah mengetahui persyaratan-persyaratan tersebut, dan mau mencoba atau mendekati, cukup kiranya kita dapat memfungsikan sebagaian dari kemampuan dan kemauan kita kearah itu.

Pendekatan fungsional adalah pendekatan yang tidak saja mengedepankan gerak, langkah, dan aktifitas mengarah pada cita-cita, sekaligus dapat melaksanakan sebagian dari tujuan juga mempercepat proses pencapaian tujuan karenanya, langkah kongkrit dan rill sangat dituntut untuk dapat mendekati sebagian kecil dari sosok seorang jenius.

Melalui pendekatan selintas dan selayang pandang tentang apa dan siapa jenius, kita semakin tahu seperti apa jenius, setelah itu apakah dapat mendekati atau menjadi seorang jenius, usaha kita serius dan gigih serta anugrah, hidayah atau karunia ilahi memegang kunci utama.


1 komentar:

  1. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    BalasHapus